Bersyukur

Gambar oleh Debby Hudson dari Unsplash

Luangkan waktu setiap hari, untuk mencatat 10 hal yang kita syukuri.

Betapa banyak hal sederhana yang dapat kita syukuri:
– Hujan menyejukkan di sore hari.
– Jalan sedikit lebih lengang sehingga tidak terlambat.
– Jalan sangat macet sehingga punya me time lebih lama sebelum tiba di rumah.
– Makan bersama keluarga yang menyengkan.
– Bangun di pagi hari.
– Pegal-pegal setelah diajak berlari, mendaki, lalu bersepeda.
– Film yang seru dan menghibur.
– Punya pekerjaan.
– Es kopi susu yang nikmat.
– Membuka mata.

    Sungguhkah kita membutuhkan alasan untuk senantiasa bersyukur?

    Musik dan Berkesadaran

    Gambar oleh Joseph Malina Secall dari Unsplash

    Tak semua musik perlu nada
    Banyak musik menggugah,
    karena irama dan jeda.

    Tak semua musik perlu manusia
    Musik juga hadir
    melalui banyak fenomena

    Tak semua musik perlu lirik.
    Tak semua musik perlu gempita.
    Tak semua musik perlu tepukan.
    Segala musik selalu perlu hati.

    Musik mengajarkan keluasan perspektif.
    Musik mengingatkan kedalaman makna.
    Musik mengajak Berkesadaran.

    Organisasi Berkesadaran

    Gambar oleh Myriam Fotos dari Pixabay

    Organisasi merupakan media berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepribadian dan latar belakang untuk suatu tujuan bersama. Organisasi bisa berupa korporasi, perusahaan rintisan (startup), komunitas, ataupun keluarga. Ketika ia berkesadaran, anggota-anggotanya berlatih dan berserah dalam sadar, mengalami anugerah momen dan peran, dengan jernih dan lepas, seapa-adanya. 

    Para pemimpin organisasi ini menetapkan visi dan misi yang bersifat pemeliharaan. Organisasi tak sekadar mementingkan kemenangan akan apapun, namun lebih mementingkan pemeliharaan. Pemeliharan inipun bersifat sementara, siap untuk diestafetkan kepada siapapun, kapanpun. Pemeliharaan ini merupakan perjalanan menuju kebaikan, kebenaran, dan keindahan. 

    Kebaikan akan membuat organisasi ini berkutat untuk memberi manfaat bagi para pemangku kepentingan. Kebenaran akan membuat organisasi ini berbagi makna bagi diri dan sekitarnya.  Keindahan akan membuat organisasi ini memberi berkah bagi siapapun yang terlibat dengannya, tanpa melekat dengannya.

    Organisasi Berkesadaran perlu membumi, karenanya selain bersifat memelihara, ia memiliki OKR, KPI, ataupun apapun yang bisa diukur, dievaluasi, dikoreksi dan disempurnakan di setiap iterasinya. Bahkan dalam bentuk organisasi yang bukan perusahaan, misalnya komunitas ataupun keluarga, ukuran-ukuran bisa ditetapkan dalam bentuk SMART Goal yang bersifat spesifik, terukur, relatif jelas proses dan pelakunya, realistis, serta memiliki batas waktu untuk mencapainya. Contohnya, organisasi dalam bentuk keluarga muda biasanya berencana kapan memiliki turunan, kapan aset-aset tak bergerak perlu dimiliki, pola pembiayaan, dan lain sebagainya. 

    Bagaimana Organisasi Berkesadaran seperti ini bisa dibangun? Mulai dari diri sendiri. Kita perlu teduh dan tekun berlatih dan berserah dalam Berkesadaran di berbagai peran kita di organisasi. Langkah pertama ini akan mengundang siapapun yang beresonansi, untuk bekerja sama dan berlatih bersama dengan kita, secara natural.

    Langkah yang kedua adalah dengan membangun komunitas berlatih. Dalam komunitas berlatih ini, kegiatan berlatih berkesadaran dilakukan bersama serta dilakukan secara rutin. Dengan kebersamaannya, forum ini menjadi ruang untuk berbagi pengalaman Berkesadaran dalam keseharian, dalam konteks pribadi maupun profesi. Tentunya proses berbagi pengalaman ini menghormati batas-batas privasi sehingga hanya dilakukan ketika para peserta nyaman melakukannya. Sebagaimana langkah pertama, langkah kedua ini akan menjadi pengingat & penyemangat bagi anggota komunitas berlatih ini, serta menjadi pengundang bagi yang lainnya. 

    Langkah selanjutnya adalah dengan memasukkan sifat berkesadaran ke dalam elemen-elemen organisasi: keseharian, proses & sistem, budaya. Dalam keseharian, contohnya, dengan memasukkan pola jeda tiga napas untuk mengawali berbagai pertemuan di organisasi. Dalam proses organisasi, misalnya, bagaimana Berkesadaran diterapkan bukan saja ketika menerima, namun juga ketika melepas anggota organisasi. Contoh lain lagi dalam aspek organisasi misalnya, bagaimana Berkesadaran dibumikan pada  proses penilaian unjuk kerja di organisasi?. Dan tentunya masih banyak lagi.

    Tentunya, proses-proses ini perlu terus diukur, dievaluasi, diiterasikan, sehingga menjadi budaya organisasi. Dengan demikian, kebaikan, kebenaran, dan keindahan bisa dirasakan di seluruh organisasi, yang sekali lagi, bukan hanya dalam format korporasi, melainkan juga organisasi kecil seperti keluarga.

    Keuangan dalam Berkesadaran

    Gambar oleh micheile dot com dari Unsplash

    Keuangan merupakan topik yang biasanya dianggap jauh dan tidak ada hubungannya dengan Berkesadaran.

    Sebenarnya fenomena yang mendekatkan uang dengan kebahagiaan, atau sebaliknya yang menjauhkan uang dengan kebahagiaan,  hanyalah satu contoh dari persepsi yang datang dari bagaimana kita semua mengartikan kata. Berkesadaran (Mindfulness) cenderung berkonotasi altruistik, spiritual, lebih dekat pada yang Ilahi. Sementara itu, hal yang berhubungan dengan uang (dan juga Keuangan), cenderung dianggap dekat dengan keduniawian dan tidak begitu mulia. Oleh karena itu, dengan sederhana kita akan mudah berasumsi bahwa Berkesadaran sama dengan menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan uang.

    Pada hakikatnya, uang merupakan sebuah alat pembayaran, bentuknya bermacam-macam, cara mendapatkannya juga beragam. Sebuah alat, baik buruknya, bergantung pada bagaimana dan untuk apa alat tersebut digunakan. Demikian juga dengan Keuangan, atau pengelolaan uang, baik dilakukan dan bermanfaat.

    Yang sering menimbulkan masalah dan kesusahan bagi kita bukanlah uang itu sendiri, melainkan rasa yang terkait dengannya, yang secara umum ada dua (2). Yang pertama adalah rasa tidak cukup atau tidak puas dengan jumlah yang kita miliki. Ini juga ada kaitannya dengan seberapa banyak dan seberapa lengkap, canggih, dan mewah (sophisticated) hal yang kita inginkan, karena kemudian akan cenderung berbanding lurus dengan jumlah uang yang kita perlukan. Karena yang sesungguhnya kita perlukan sangatlah sedikit jika dibanding yang keinginan kita. Bahkan, kian tersadari, kian terasa bahwa kita sudah dicukupkan.

    Rasa yang kedua adalah identifikasi dan penghargaan diri (self-worth)  berdasarkan uang. Semakin banyak yang kita miliki, kita merasa makin bernilai. Kita adalah jumlah uang yang kita miliki. Tentu saja kita semua tahu, tidak demikian sesungguhnya. Namun kita seringkali lupa, dalam kekaguman kita pada orang yang berhasil secara materi, dalam rasa tidak percaya diri kita karena tidak mampu membeli sesuatu yang mahal, dan dalam minat kita pada benda-benda dan hal yang bertarif tinggi, terdapat identifikasi dan penilaian ini. Bahkan sebagian melihat bahwa memiliki itu penting, karena itulah cara untuk dihormati dan diterima oleh sekitarnya.

    Berkesadaran adalah suatu latihan di mana kita berupaya untuk melihat dan mengalami.segala sesuatu seperti apa adanya. Jadi, kita melihat uang sebagai sebuah alat. Untuk apa? Untuk memenuhi kebutuhan dasar kita, menjalani tumbuh kembang yang bersifat memelihara serta berkehidupan.  

    Objek sekitar kita adalah alat untuk tumbuh kembang dan memelihara ini juga berlaku untuk ilmu dan berbagai hal yang kita anggap sebagai aset. Ketika sebuah objek tidak membuat kita bertumbuh kembang dalam arti sejatinya, tidak membantu kita memelihara kehidupan serta berkehidupan, maka kita sudah melekat pada objek itu. 

    Kembali ke konteks uang dan segala yang berhubungan dengan uang, kelola dan sadari, termasuk cara kita mendapatkan, menyimpan dan mengembangkan, juga menggunakannya. Kita tidak melekat dan tidak didefinisikan olehnya.

    Peran

    Gambar oleh Ahmad Odeh dari Unsplash

    Peran adalah paradoks permainan tak berhingga dan permainan berhingga, meminjam istilah James P. Carse. Ia merupakan permainan tak berhingga, karena secara jangka panjang peran kita, apapun itu, bersifat memelihara. Tiga hal yang dipelihara: kebaikan, kebenaran, dan keindahan. 

    Kebaikan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi manfaat, tanpa perlu merasa baik. Kebenaran dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi makna, tanpa perlu merasa benar. Keindahan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi berkah, tanpa perlu merasa indah. 

    Permainan tak berhingga ini perlu dibumikan dan dikontekskan melalui permainan berhingga, di setiap situasi dan kondisinya. Permainan berhingga perlu diukur, memerlukan metode, dan juga teknologi dan senantiasa mencari obyektivitas. Ini tentunya kontras dan melengkapi permainan tak berhingga yang perlu dirasa, memerlukan hati dan nurani, serta menghormati subjektivitas karena saling memperkaya. 

    Peran bukanlah passion (yang cenderung fokus pada kesukaan), karena dalam setiap peran suka dan tidak suka hadir bersamaan. Selain itu suka dan tidak suka cenderung lahir dari ego, sedangkan peran lahir dari situasi dan kondisi yang dianugerahkan. 

    Peran bukanlah purpose (yang cenderung hanya fokus pada masa depan dan bisa mengawang), karena ketakberhinggaan peran yang memang bersifat jangka panjang dan mengawang ini, perlu berisi permainan berhingga, yang membumi dan kontekstual. 

    Peran bukanlah ikigai yang secara populer disalahartikan sebagai irisan dari kebutuhan dunia, kemahiran kita, kecintaan kita, dan apa yang bisa menghasilkan uang. Peran adalah ikigai dalam makna sejatinya: sumber kehidupan yang memberikan energi. Dengan kata lain, ketika kita berperan, kita menerima energi kehidupan, mengolahnya, dan membagikannya, tanpa perlu memilikinya. Kita melalukan kehidupan. 

    Dengan definisi diatas, jelaslah bahwa peran, senantiasa berubah, bukan dipilih, walaupun di setiap konteks kita diberikan ruang untuk tampaknya bisa memilih. Peran bukan capaian, karena apapun yang kita hasilkan, bukanlah kita penyebab utamanya.

    Peran adalah keselarasan antara situasi di luar, yang senantiasa dianugerahkan khusus buat kita, dan kondisi di dalam keberadaan kita, dengan segala potensi yang sudah dititipkan. Kita menjalani dan sekaligus menjalankan peran. 

    Semua sudah cukup, semua senantiasa hadir tanpa kebetulan. Melalui Berkesadaran, kita mengamati, mengalami, dan mengasah anugerah-anugerah ini, termasuk anugerah peran-peran bagi kita.