Bersahabat dengan Rasa Marah

Marah, sebagaimana semua emosi, bersifat netral, dan justru baik karena mengingatkan. Marah mengingatkan adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. 

Gambar oleh Caroline O’Brien dari Unsplash

Berkesadaran (Mindfulness) membuat kita  peka akan segala rasa, termasuk rasa marah. Berkesadaran akan melatih kita untuk peka akan hadirnya rasa marah, dan memilih dengan jernih, bagaimana menindaklanjutinya, hanya ketika dirasa perlu. 

Kalau kita masih sering mudah meluapkan amarah kita, Berkesadaran bisa dipertimbangkan sebagai opsi untuk mengelolanya. Berkesadaran membuat kita menyadari dan berjarak dengan segala emosi, termasuk rasa marah. Jadi emosi-emosi tersebut disadari dan diterima. Dengan menerima, terkadang ia akan luruh dengan sendirinya. 

Namun bukannya tidak mungkin ia menetap bersama kita cukup lama, karenanya kitapun perlu menemani rasa tersebut, tanpa larut ke dalamnya. Cukup dirasakan rasa marah tersebut yang bisa saja juga muncul dalam bentuk nafas, tubuh, dan pikiran.

Bisa juga ia hilang, namun datang kembali. Kita perlu berlatih menyikapinya dengan cara yang sama: sadari, terima, tanpa larut. Demikian selanjutnya, sehingga ia tidak merasa dihempaskan, dan ia juga tidak perlu digenggam. Cukup disadari. 

Tentunya sikap-sikap ini perlu terus dilatih. Dan sebagaimana manusia, bisa saja kita terlanjur meluapkan kemarahan itu. Janganlah kita tambahkan rasa marah yang sudah terlanjur diluapkan itu dengan rasa marah yang baru, namun sekali lagi cukup disadari, bahwa kita sempat tidak sadar dengan ekspresi meluapkan kemarahan itu. 

Tidak ada salahnya kitapun mulai Berkesadaran untuk memahami dari mana rasa marah itu muncul, bukan sekadar Berkesadaran akan rasa marah tersebut. Seringkali bukan kejadian atau kata-kata yang kita dengar, yang dirasa  kurang pas atau perlu kita perbaiki, tetapi kemarahan muncul karena keberadaan ego kita yang terusik. Sebagai contoh, identifikasi kita cenderung dijaga sebagai kebenaran absolut. Suku, agama, ras, adalah identifikasi yang rentan untuk terusik menjadi marah. 

Kian kita berlatih akan hadirnya dan asalnya rasa marah ini, coba tanyakan hal ini dengan tenang:  tanpa kehadiran yang lain, siapakah yang akan disakiti oleh ia yang ingin menyakiti? Seringkali, justru kehadiran kita – kesayaan / ego –  adalah sebab dari rasa sakit. Kian kita berjarak dengan ini, kian marah justru memberikan fungsi terbaiknya: ada yang berbeda antara yang diharapkan dan kenyataan. 

Lalu dengan jernih, coba kita perhatikan. Apa yang sebenarnya diharapkan?  Apa yang dimaksud dengan kenyataan?  Langkah apa yang perlu diambil? Atau bahkan, perlukah ada langkah ini?