Teman Kembali

“For ages you have come and gone courting this delusion.
For ages you have run from the pain and forfeited the ecstasy.
So come, return to the root of the root of your own soul.

Although you appear in earthly form
Your essence is pure Consciousness.
You are the fearless guardian of Divine Light.
So come, return to the root of the root of your own soul. 

Soul of all souls, life of all life – you are That.
Seen and unseen, moving and unmoving – you are That.
The road that leads to the City is endless;
Go without head and feet
and you’ll already be there.
What else could you be? – you are That.”

Mawlana Jalal-al-Din Rumi
(translation by Jonathan Star)

Gambar oleh Flavio Conca dari Unsplash

Kami cenderung menyebut kami Teman Kembali, manusia-manusia yang menjalani kemanusiaannya dengan semua keunikannya, dan sekaligus juga menjalankan kemanusiaannya bersama dengan yang lain, dengan semua kesamaannya.

Menjalani keunikan adalah menjalani kesejatian, menemukan kembali  sesuatu yang dari awal sudah dititipkan. Menjalani kebersamaan adalah menjalani ketidak kebetulan yang sengaja dihadirkan untuk menemani dan menyemangati dalam kebaikan dan kesabaran. 

Kami mengajak siapapun yang tergerak untuk berjalan kembali bersama, sebagai individu, sebagai katalis, sebagai pereka-cipta, dalam berbagai konteksnya – kesendirian, keluarga, komunitas, dan organisasi. Ajakan yang tidak mengharuskan, ajakan yang boleh jadi hanya mengingatkan:

bahwa kita kembali
bahwa kita sendiri, dan sekaligus bersama
bahwa kita bernalar, dan sekaligus bernurani
bahwa kita bertujuan, dan sekaligus tidak bertujuan

Perjalanan kembali perlu disadari. Dan kesadaran perlu dilatih, sendiri serta bersama-sama. Untuk itu kami hadir, menemani yang berkenan kembali, dan mendapatkan teman yang berkenan menemani kami berjalan kembali. 

Kita berlatih bersama untuk menyadari keberadaan. Berawal dari pengamatan nafas, pikiran, perasaan, dan tubuh. Diiringi kesengajaan untuk mengalami, mengakui dan menerima apapun dengan tentram, serta melepasnya dengan damai. Lalu mengasah diri untuk terus mengamati dan mengalami, sehingga kian sadar akan batas diri serta nyaman hidup dengan segala paradoks yang ada. 

Sehingga perjalanan kembali bisa benar-benar dijalani.

Mari kita kembali.