Amati Alami

Kita senantiasa dianugerahkan kondisi, dan semua kondisi tidak pernah bisa sepenuhnya kita pilih. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari kondisi ini, dengan cara mengamati dan mengalami. Parameter sederhana dari kondisi keberadaan kita adalah nafas, tubuh, perasaan, dan pikiran. 

Gambar oleh Chris Yang dari Unsplash

Dengan Berkesadaran, kita mencoba untuk mengamati seapa-adanya, bukan seadanya. Amati tanpa dipikir-pikir, dianalisa, diberi label atau dicari penyebabnya. Kita mengamati tanpa larut di dalamnya, tapi juga tidak mengidentifikasikan keberadaan kita terhadap apa yang sedang muncul dan terjadi.

Dengan Berkesadaran pula, kita mencoba untuk mengalami dengan jernih.  

Semua cara pandang dan pola pikir kita, biasanya terbentuk dari kondisi dan pengalaman masa lalu. Hal ini cenderung menyebabkan distorsi dari kenyataan yang sesungguhnya, dan bahkan memberikan arti tambahan, yang sebenarnya tidak ada, pada pengalaman kita. Dalam Berkesadaran, kita menyadari pola-pola ini, dan berlatih untuk mengamati dan mengalami segala sesuatunya tanpa kebiasaan cara pandang serta pola pikir yang sudah menjadi bagian dari persepsi kita.

Selain itu, apa yang biasanya kita lihat dan kita pikirkan, bisa jadi merupakan apa ingin kita lihat dan ingin kita pikirkan. Nah, yang ‘ingin-ingin’ ini, bukan berbasiskan kebiasaan masa lalu, namun ekspresi akan pengharapan ke masa depan. Peka akan hadirnya keinginan, dan bahkan keharusan, juga merupakan pola yang perlu kita sadari dalam Berkesadaran.

Berkesadaran akan membuat kita peka akan hadirnya ego untuk kedua hal diatas: distorsi akibat kemelekatan dari masa lalu dan masa depan. 

Berkesadaran dapat kita lakukan melalui latihan Duduk Diam dan melalui seluruh sikap kita dalam keseharian, sesuai dengan peran, saat, dan tempatnya.  Lakukan latihan Duduk Diam ini secara rutin, di setiap hari. Jika memungkinkan, dapat dilakukan di tempat yang sama dulu, dengan durasi yang sama, untuk membantu membangun kebiasaan.

Mengelola Rasa Takut

Setiap dari kita sudah dan akan mengalami rasa takut. 

Takut adalah emosi, dan semua emosi netral dan ada manfaatnya. Takut mengingatkan akan adanya sesuatu yang mungkin tampak berbahaya bagi kita. Karenanya, ketika takut datang, janganlah kita takut. 

Gambar oleh Tim Trad dari Unsplash

Menyadari keberadaan rasa takut, dan juga rasa-rasa lainnya, akan mengasah kepekaan kita kepada keberadaan nafas, tubuh, dan pikiran. Bagaimana nafas kita? Apakah cenderung lebih cepat? Sensasi tubuh apa yang dirasakan? Apakah jantung terasa lebih berdebar? Apakah tubuh kita berkeringat, walau suhu ruang tidak panas? Apakah ada pikiran yang muncul sebelum dan/atau sesudah rasa takut itu tersadari? Misalnya, takut karena nama baik menjadi buruk, takut karena dosa, atau takut karena hal lainnya? 

Alami dulu semuanya seapa-adanya. Tidak ditolak, tidak dienyahkan, tidak dibahas, tidak dihakimi. Cukup sadar diterima. 

Ketika kejernihan hadir, maka, jika dirasa perlu tentunya, kita bisa mulai untuk memahami dari mana rasa takut itu datang, lalu memilih respons yang diperlukan, termasuk tidak memberikan respons. 

Semua rasa, termasuk rasa takut, akan datang dan pergi, dan bisa muncul kembali dalam berbagai bentuknya. Sadari dulu, jangan otomatis bereaksi, dan tidak perlu langsung ditanggapi. Kian kita berlatih, kian kita leluasa memilih tanggapan yang diperlukan, termasuk tidak menanggapi. 

Berkesadaran akan membiasakan kita untuk menyadari rasa takut itu dan berjarak padanya. Berjarak artinya bersikap bahwa kita bukan rasa takut itu, sehingga kita tidak mengatakan ‘saya takut’, namun ‘ada rasa takut’. Berkesadaran, karenanya, juga mengingatkan  agar kita tidak larut dan bahkan tidak dikendalikan oleh rasa takut itu. 

Berkesadaran, tidak menghilangkan rasa takut, tapi menyadari rasa takut. Karena berani, bukan berarti menihilkan rasa takut, namun menyadari,  jernih merespons, walau rasa takut itu masih ada.

Kepekaan

Kepekaan adalah salah satu dari beberapa kualitas yang kita asah dalam Berkesadaran.

Gambar oleh Taylor Nicole dari Unsplash

Mengasah kepekaan, adalah berlatih benar-benar menyadari, dimulai dengan mengamati dan mengalami nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Kian kita peka, kita bisa merasakan, misalnya setiap nafas kita ternyata berbeda-beda di setiap saatnya. 

Sensasi tubuh pun hadir dengan berbagai variasinya, terkadang dahi yang berkernyit, atau turun naiknya dada yang terasakan, bisa juga kembang-kempisnya perut yang lebih mudah dirasakan, atau adanya  rasa pegal di punggung. Selain itu, kita juga bisa menyadari pikiran yang datang silih berganti tanpa bisa kita pilih, termasuk juga berbagai perasaan yang kehadirannya muncul tanpa bisa kita seleksi. 

Ketika kita peka, kita mudah merasakan hadirnya ego, termasuk merasakan perbedaan yang tipis antara berupaya dan mengharuskan, antara berserah dan bermalasan, antara perlu dan ingin, serta antara tekun dan keras kepala. Tampak seperti permainan kata-kata, tapi ketika kita peka, kita bisa merasakan perbedaannya. Dengan kepekaan, kita akan memilih respon kita dengan relatif lebih jernih.

Ketika kita peka, kita mengalami bahwa apa yang dirasa sebagai di luar keberadaan kita, adalah juga apa yang ada di dalam – di luar dan di dalam tidak terpisah dan bukan hal yang berbeda. Ketika kita peka, kita bisa mulai merasakan perbedaan antara mendengarkan dan mendengar, antara empati dan simpati, antara cinta dan nafsu, antara tertarik dan menjadi menarik, antara berkarya dan bekerja, dan lain sebagainya. 

Peka juga membuat kita hati-hati ketika perlu memilih. Terkadang kita terbiasa untuk memilih hanya satu pilihan dari berbagai pilihan yang ada, padahal ada banyak situasi yang bersifat paradoks, dimana yang kita pilih adalah beberapa pilihan sekaligus. Ada situasi tertentu yang membuat kita perlu merasa dan mengukur sekaligus, dan ada situasi juga yang membuat kita perlu menggunakan nurani dan nalar sekaligus. Kepekaan akan membuat kita menyadari bahwa  paradoks-paradoks tersebut memang diperlukan

Bersahabat dengan Rasa Marah

Marah, sebagaimana semua emosi, bersifat netral, dan justru baik karena mengingatkan. Marah mengingatkan adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. 

Gambar oleh Caroline O’Brien dari Unsplash

Berkesadaran (Mindfulness) membuat kita  peka akan segala rasa, termasuk rasa marah. Berkesadaran akan melatih kita untuk peka akan hadirnya rasa marah, dan memilih dengan jernih, bagaimana menindaklanjutinya, hanya ketika dirasa perlu. 

Kalau kita masih sering mudah meluapkan amarah kita, Berkesadaran bisa dipertimbangkan sebagai opsi untuk mengelolanya. Berkesadaran membuat kita menyadari dan berjarak dengan segala emosi, termasuk rasa marah. Jadi emosi-emosi tersebut disadari dan diterima. Dengan menerima, terkadang ia akan luruh dengan sendirinya. 

Namun bukannya tidak mungkin ia menetap bersama kita cukup lama, karenanya kitapun perlu menemani rasa tersebut, tanpa larut ke dalamnya. Cukup dirasakan rasa marah tersebut yang bisa saja juga muncul dalam bentuk nafas, tubuh, dan pikiran.

Bisa juga ia hilang, namun datang kembali. Kita perlu berlatih menyikapinya dengan cara yang sama: sadari, terima, tanpa larut. Demikian selanjutnya, sehingga ia tidak merasa dihempaskan, dan ia juga tidak perlu digenggam. Cukup disadari. 

Tentunya sikap-sikap ini perlu terus dilatih. Dan sebagaimana manusia, bisa saja kita terlanjur meluapkan kemarahan itu. Janganlah kita tambahkan rasa marah yang sudah terlanjur diluapkan itu dengan rasa marah yang baru, namun sekali lagi cukup disadari, bahwa kita sempat tidak sadar dengan ekspresi meluapkan kemarahan itu. 

Tidak ada salahnya kitapun mulai Berkesadaran untuk memahami dari mana rasa marah itu muncul, bukan sekadar Berkesadaran akan rasa marah tersebut. Seringkali bukan kejadian atau kata-kata yang kita dengar, yang dirasa  kurang pas atau perlu kita perbaiki, tetapi kemarahan muncul karena keberadaan ego kita yang terusik. Sebagai contoh, identifikasi kita cenderung dijaga sebagai kebenaran absolut. Suku, agama, ras, adalah identifikasi yang rentan untuk terusik menjadi marah. 

Kian kita berlatih akan hadirnya dan asalnya rasa marah ini, coba tanyakan hal ini dengan tenang:  tanpa kehadiran yang lain, siapakah yang akan disakiti oleh ia yang ingin menyakiti? Seringkali, justru kehadiran kita – kesayaan / ego –  adalah sebab dari rasa sakit. Kian kita berjarak dengan ini, kian marah justru memberikan fungsi terbaiknya: ada yang berbeda antara yang diharapkan dan kenyataan. 

Lalu dengan jernih, coba kita perhatikan. Apa yang sebenarnya diharapkan?  Apa yang dimaksud dengan kenyataan?  Langkah apa yang perlu diambil? Atau bahkan, perlukah ada langkah ini?

Hidup

Gambar oleh Aziz Acharki dari Unsplash

Hidup itu alami.
Hidup itu mengalami.

Memang sesederhana itu.
Memang seabstrak itu.

Sederhana, 
kala kita menerima bahwa kita tarian, 
dan bukan penari.

Bukan tujuan (purpose) & renjana (passion)nya,
tapi peran-peran dalam segala kemajemukannya, 
yang memang tampak hadir sebagai pilihan,
namun sejatinya dianugerahkan.

Abstrak, 
karena di luar jangkauan pemikiran,
walaupun berpikir tetap perlu,
walaupun analisa dan sintesa tetap penting. 
namun semuanya adalah pembantu,
bukan penentu.

Alami hidup, seapa-adanya.
Realita yang sebenarnya.
Bukan karena harus dan ingin,
tabir-tabir dari ego kita.

Alami hidup, tanpa seadanya. 
Bukan acuh  tak peduli,
maupun bermalasan bertopengkan  keberserahan,
karena semua sudah dicukupkan,
segala telah dihamparkan.

Sadari dulu alaminya,
dan ketika perlu,
iterasikan metode,
narasikan semangat,
tanpa melekat,
tanpa semburat,
karena semuanya latihan,
karena semuanya titipan.

Alami hidup,
yang menghidupkan,
bukan sekadar menghidupi.