Cukup

Gambar oleh Manki kim dari Unsplash

Bagaimana cukup adalah cukup?
Yang bukan cukup karena malas melanjutkan?
Yang bukan cukup karena harus menunjukkan?

Sepertinya perlu berlatih mengundang kepekaan
Sehingga diizinkan untuk merasakan, membedakan, dan menjalankan yang perlu.

Bagaimana cukup adalah cukup?
Yang bukan cukup karena sibuk sendiri
Yang bukan cukup karena tak peduli

Sepertinya perlu berlatih mengundang keterjalinan
Agar diizinkan menunggu maupun menanggapi dalam teguh dan teduh.

Bagaimana cukup adalah cukup?
Yang bukan cukup karena norma
Yang bukan cukup karena biasa

Sepertinya perlu berlatih mengundang kearifan
Supaya diizinkan mendalami benar, baik, dan indah yang juga bijak.

Peka, terjalin, arif
Ketiganya tak pernah bisa dipastikan.

Kita hanya terbuka untuk mengundangnya 
melalui berlatih yang juga berserah.

Sehingga cukup memang sejatinya cukup.

Hidup

Gambar oleh Aziz Acharki dari Unsplash

Hidup itu alami.
Hidup itu mengalami.

Memang sesederhana itu.
Memang seabstrak itu.

Sederhana, 
kala kita menerima bahwa kita tarian, 
dan bukan penari.

Bukan tujuan (purpose) & renjana (passion)nya,
tapi peran-peran dalam segala kemajemukannya, 
yang memang tampak hadir sebagai pilihan,
namun sejatinya dianugerahkan.

Abstrak, 
karena di luar jangkauan pemikiran,
walaupun berpikir tetap perlu,
walaupun analisa dan sintesa tetap penting. 
namun semuanya adalah pembantu,
bukan penentu.

Alami hidup, seapa-adanya.
Realita yang sebenarnya.
Bukan karena harus dan ingin,
tabir-tabir dari ego kita.

Alami hidup, tanpa seadanya. 
Bukan acuh  tak peduli,
maupun bermalasan bertopengkan  keberserahan,
karena semua sudah dicukupkan,
segala telah dihamparkan.

Sadari dulu alaminya,
dan ketika perlu,
iterasikan metode,
narasikan semangat,
tanpa melekat,
tanpa semburat,
karena semuanya latihan,
karena semuanya titipan.

Alami hidup,
yang menghidupkan,
bukan sekadar menghidupi.