Durasi waktu secara umum kita ukur berdasarkan suatu parameter konvensional yang disepakati bersama – 60 detik membentuk 1 menit, 60 menit membentuk 1 jam, 24 jam membentuk 1 hari, dan seterusnya. Konvensi ini, bersama dengan sistem penanggalan memungkinkan kita untuk membuat janji bertemu, menetapkan tenggat waktu, juga menciptakan mesin yang menggerakkan banyak hal, yang bekerja dengan ritme dan persamaan yang mengandung unsur waktu.
Kita mengetahui waktu dengan melihat alat ukurnya – jam dan kalender. Waktu yang demikian kita sebut waktu kronologis.
Seorang ahli fisika kuantum Carlo Rovelli mencetuskan pertanyaan menarik – apa arti sesungguhnya dari kata “waktu berlalu”? Penelitiannya menunjukkan fakta bahwa jam yang sama serupa akan bergerak lebih lambat di tepi laut daripada di gunung. Waktu berdasarkan jam sebagai alat ukur bergerak lebih cepat di gunung daripada di tepi laut.
Ini berarti, standar alat ukur waktu menjadi tidak lagi standar, dan ini secara fundamental mengubah cara kita melihat waktu, dan yang terutama, mengalami waktu.
Kita juga mengalami waktu dalam waktu psikologis. Waktu ini berlalu lebih cepat atau lambat dibandingkan dengan waktu kronologis, tergantung pada keberadaan kita di saat tersebut. Ketika sedang merasa tidak nyaman, waktu terasa berjalan sangat lambat. Sementara, ketika sedang melakukan hal yang kita sukai, waktu terasa berjalan terlalu cepat.
Secara umum, waktu psikologis terjadi karena kita melekat pada apa yang kita sukai, dan tidak menerima dalam mengalami hal yang tidak kita sukai. Ketika sadar akan hadirnya waktu psikologis, kita memahami bahwa ada sesuatu dalam sikap kita yang tidak Berkesadaran, yaitu tidak sedang berupaya untuk mengalami segala sesuatu seperti apa adanya, bahwa apa yang hadir akan berlalu, cepat atau lambat.
Dengan waktu yang berlalu, kita juga mengenal dimensi waktu sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan, yaitu sesuatu yang dianggap sudah berlalu, sedang berlangsung dan belum terjadi. Dimensi ini seringkali dianggap sebagai sumber penderitaan bagi banyak dari kita, karena kita cenderung berada pada masa lalu dan masa mendatang. Ini ada benarnya, tapi sesungguhnya belum lengkap.
Hal yang lebih fundamental adalah definisi dari dimensi waktu ini sendiri menunjukkan bahwa waktu hanya ada jika ada yang dibandingkan, yaitu antara sesuatu yang dianggap sudah, sedang dan belum terjadi.
Batin yang selalu membandingkan inilah yang memunculkan waktu, menciptakan perubahan yang kita sebut sebagai berlalunya waktu, yang kemudian menghasilkan dimensi masa lalu, masa kini dan masa datang. Menarik untuk disadari, kebiasaan membandingkan ini terjadi di hampir semua perilaku kita. Ketika berkesadaran, kita hanya bersama keberadaan kita di setiap waktunya, tanpa ada yang sudah, yang akan, yang belum.
Kita mengalami waktu dan waktu mengalami kita.