Keterjalinan

Selain kepekaan, keterjalinan adalah yang kita asah melalui Berkesadaran. 

Gambar oleh JJ Ying dari Unsplash

Keterjalinan adalah suatu kondisi di mana kita semua saling terhubung satu sama lain, apakah dengan hal ataupun dengan orang yang kita anggap merupakan bagian dari kita, ataupun yang sepertinya bukan merupakan bagian dari kita. Sejatinya, kita semua adalah bagian tak terpisahkan. 

Keterjalinan tidak berarti bermalasan tanpa memilih, karena kita merasa sudah terhubung dengan semuanya. Inilah peran Berkesadaran, karena hampir di setiap saatnya kita memilih. Berkesadaran akan memudahkan kita untuk menyadari, siapa yang memilih, kenapa dipilih, dan bahkan lebih mendasar lagi, apakah ada yang perlu dipilih. 

Keterjalinan bukanlah melekat. Melekat, ketika kita berkesadaran, adalah indikasi akan  hadirnya ego. Melekat adalah sikap-sikap yang diekspresikan ketika berupaya menjadi mengharuskan, ketika perlu menjadi ingin, ketika berserah menjadi bermalasan, ketika tertarik menjadi ingin tampak menarik, dan lain sebagainya. 

Keterjalinan membantu menghadirkan sikap peduli akan semua yang dihadirkan, dengan keingintahuan, tanpa ingin memiliki, tanpa harus mengerti. Dalam keterjalinan, apapun yang kita lakukan, pikirkan, putuskan, mempengaruhi keberadaan kita dengan yang lain. Dalam Berkesadaran kita menyadari hal ini, dan dengan peduli (sadar) untuk bertindak dan memilih, tentunya jika perlu.

Keterjalinan yang berbasiskan Berkesadaran juga berarti menyadari bahwa semua keterhubungan tidak pernah abadi. Kita sebenarnya sudah sering mengalami bahwa tidak ada rasa bahagia selamanya, sebagaimana juga nestapa tak pernah abadi. 

Kita belajar bahwa kita tidak menjalankan, tapi menjalani. Banyak pertanyaan hidup itu bukan untuk dijawab, tapi dijalani dengan kepedulian & ketekunan, serta dilepas ketika waktunya.

Inilah keterjalinan kita dengan kehidupan, ada namun tak pernah abadi.

Asah

Berkesadaran memerlukan Amati dan Alami. Keduanya, perlu kita Asah.

Gambar oleh Yoann Boyer dari Unsplash

Orang yang menyebut dirinya berpengalaman sebenarnya adalah orang yang menyadari keberadaannya. Ia senantiasa mengasah amati dan alami. Ia mengasah kepekaan, keterjalinan, dan kearifan dalam mengamati dan mengalami. Ia berkesadaran di setiap waktu, tempat, dan perannya. Pengalaman, bukan peristiwa dari masa lalu – ia adalah kondisi di setiap momennya. 

Agar kita benar-benar mengasah amati dan alami, kita memerlukan kepekaan – sikap untuk menyadari kondisi keberadaan dalam bentuk sensasi yang dialami melalui nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Tanpa mengasah amati dan alami, maka yang bisa  terjadi adalah ketidakpekaan – ketidaktahuan kita akan perubahan ritme nafas kita, sensasi yang terjadi di tubuh, serta pikiran dan perasaan yang masuk. 

Ketidaktahuan ini, akan terjadidalam keseharian kita. Kian kita tidak peka, kian kita tidak sadar bahwa sikap, tutur, interaksi maupun keputusan yang kita ambil tidak jernih terjadi. Rasa kesal kita terhadap satu peristiwa, dapat mempengaruhi sikap kita terhadap orang lain yang tak ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Atau rasa bahagia kita terhadap suatu momen, dapat menjadi euforia yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan kita di situasi yang tidak ada hubungannya

Dengan melatih kepekaan, kita berlatih memilih respon kita dengan lebih jernih, di setiap momennya

Tentunya kepekaan tidak berarti sensitif dalam makna yang sering kita pergunakan dalam keseharian. Sensitif – biasa dikatakan sensi –  dalam makna keseharian adalah kita jadi larut dalam kondisi, sehingga mudah tersinggung dan memberikan ekspresi yang tidak perlu. Dengan berlatih kepekaan, yang terjadi adalah yang sebaliknya, kita menyadari akan obyek-obyek yang hadir ke dalam keberadaan kita, sehingga bisa memilih mana yang perlu ditindaklanjuti, mana yang dibiarkan hadir untuk berlalu. 

Kepekaan-kepekaan ini kita asah, bukan saja untuk menyadari keberadaan kita di setiap momen, namun membantu kita untuk membawakan diri kita dalam kehidupan ini. Sehingga misalnya, kepekaan yang terasah melalui latihan, akan membantu kita menyadari passion dan purpose, termasuk tidak melekat dengan passion dan purpose kita. 

Kepekaan tidak terbatas pada keberadaan sendiri. Ia juga berarti jernih melihat situasi di luar keberadaan kita, orang-orang di sekitar kita, obyek di sekitar kita, ingatan kita, dan cara kita melihat ke depan. Lebih jauh lagi, kepekaan akan menyadari bahwa kita dan sekitar kita tidak terpisahkan.

Metode dan Non-Metode

Dalam hidup, kita dibiasakan untuk mengukur, untuk membandingkan, untuk bernalar, dan untuk aktif melakukan. Hampir semua pembicaraan dan kehidupan kita terkait akan hal-hal tersebut.

Gambar oleh Jeremy Perkins dari Unsplash

Orang sering bertanya, apa ukuran keberhasilan kamu – yang sepertinya  memerlukan ukuran.  Atau siapa yang terbaik – yang memang perlu terukur  agar dapat dibandingkan. Atau juga kita sering mendengar, pikir dulu dong, jangan main langsung bertindak saja. Dan kita juga sering berslogan – kalau bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi – yang berarti kita perlu aktif melakukan semuanya.

Ya, ukuran-ukuran, penyamarataan – sehingga bisa membandingkan, penggunaan pikiran dalam mengambil keputusan, serta sikap bahwa kita perlu aktif bertindak, sudah sangat mendarah daging. Konsep ini ada dimana-mana, di pendidikan, di rumah, di kantor, dengan berbagai konteksnya. Kita menyebut hal-hal ini sebagai Metode. Akal adalah dasar kita ber-Metode.  

Namun, ketika kita menelisik lebih dalam, ada hal-hal yang bukan termasuk Metode. Tidak semua bisa diukur, namun perlu dirasa. Bagaimana mengukur kelezatan makanan atau indahnya lukisan? Hal lainnya adalah tidak semua bisa dibandingkan, misalnya enak mana, apel atau jeruk? Dan tidak semua proses menjalani kehidupan bisa dinalarkan. Karenanya orang tua seringkali berpesan, hati-hati di jalan ya, bukan pikir-pikir di jalan. Kita menyebut hal-hal ini sebagai Non-Metode. Budi adalah dasar kita ber Non-Metode.

Ketika kita Berkesadaran, maka kitapun tidak terjebak bahwa di tempat, saat, dan peran tertentu kita hanya bisa berMetode saja atau ber Non-Metode saja. Seringkali, keduanya diperlukan sekaligus. Kita sudah sering mendapatkan bahwa, misalnya, teknologi bukan saja dipikirkan dan diukur, namun juga perlu disajikan melalui desain yang lebih mudah untuk dirasakan. Teknologi bukan saja digunakan, tapi dialami. 

Metode dan Non-Metode adalah paradoks, diperlukan sekaligus dalam perjalanan hidup kita. Akal-budi, demikian orang-orang dahulu mengatakannya, mengingatkan kita bahwa Metode dan Non-Metode, diperlukan. Berkesadaran akan membuat kita terlatih untuk menjalani paradoks ini, terjalin tanpa melekat akan keduanya, serta arif menjalankannya. Dengan kata lain, Berkesadaran adalah pintu untuk berakal-budi.

Tentang Duduk Diam

Duduk Diam merupakan salah satu latihan dasar dari Berkesadaran.

Duduk Diam, sebagaimana namanya, adalah latihan untuk diam tidak melakukan apapun, tidak menanggapi apapun dan tidak menghibur diri dengan distraksi. Dilakukannya, tentunya, dalam posisi duduk. Membosankan? Mungkin, tapi bosan juga adalah rasa yang perlu kita alami, sebagaimana rasa-rasa yang lain, melalui Berkesadaran.

Gambar oleh Aziz Acharki dari Unsplash

Jika batin kita dianalogikan sebagai wadah berisi air, maka seluruh kegiatan dan proses berpikir kita adalah proses menabur berbagai macam objek ke dalam wadah tersebut – debu, kerikil, butiran warna-warni, lumpur dan lain sebagainya. Untuk menjernihkan air (yang menganalogikan batin), kita perlu mendiamkan wadahnya, agar seluruh objek tadi perlahan mengendap. Sebaliknya, jika wadah terus bergerak dan air terus diaduk sambil menerima berbagai objek, airnya tidak bisa jernih. Itulah sebabnya, kita perlu Duduk Diam – mendiamkan batin menunggu berbagai obyek yang muncul mengendap dari permukaan, sehingga kejernihan dapat muncul. 

Kita memang perlu berdiam, menyadari dan menunggu agar respon dan ekspresi yang kita lakukan lahir dari ketenangan, lahir dari kejernihan. Duduk Diam menjadi perlu, karena inilah dasar seluruh latihan Berkesadaran kita – untuk mengamati dan mengalami keberadaan kita, jernih seapa-adanya. 

Kita melakukannya dalam posisi duduk, karena inilah posisi yang paling stabil. Dibandingkan dengan berdiri, posisi ini tidak melelahkan, dan dibandingkan dengan tidur, posisi ini tidak melenakan. Posisi duduk dalam diam ini juga membuat kita peka akan keberadaan yang dihadirkan kepada kita – yang untuk mudahnya kita sebut sebagai nafas, tubuh, perasaan, dan pikiran. Dalam kondisi Duduk Diam, kita berkesempatan untuk menyadari, menerima, mengenali obyek-obyek yang hadir ke keberadaan kita, yang mengkondisikan kita, yang bisa mewarnai kondisi batin kita. Kita kian peka, kian mengenal tatanan keberadaan (internal landscape) ini. 

Pola-pola Berkesadaran, termasuk Duduk Diam, tidak pernah memastikan hasil. Karenanya kita berlatih Duduk Diam, untuk berlatih Duduk Diam, bukan untuk meningkatkan kemampuan kita berdiam, karena hasil, tak pernah milik kita. Kita juga berlatih untuk tidak bertransaksi dengan apapun yang kita upayakan. Kebahagiaan, ketenangan, ketidakbahagiaan, dan ketidak-tenangan, maupun rasa-rasa yang lain yang muncul ketika Duduk Diam adalah pengalaman, bukan tujuan, dari Duduk Diam.

Berkesadaran dalam Duduk Diam tidak pula memastikan Sadar, namun berlatih menyadari sehingga biasanya – tanpa mengharuskan – menghadirkan kepekaan, keterjalinan, dan kearifan. Kian kita berlatih, kita juga lebih mudah menyadari ketidak-sadaran kita – melakukan atau mengucapkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita ekspresikan. Berkesadaran akan membuat kita mudah menyadari ketidaksadaran itu. 

Berkesadaran dalam Duduk Diam membuat kita jadi lebih terbuka akan pandangan dan persepsi yang bukan karena pengalaman yang lalu, ataupun harapan yang akan datang, karena dalam Duduk Diam, kita senantiasa mengalami pengalaman kebaruan tersebut Tidak ada pengalaman yang persis sama di setiap Duduk Diam. 

Berkesadaran dalam Duduk Diam juga melatih kita, pada waktunya, untuk berjeda sehingga tidak terburu-buru menanggapi apapun yang datang dan pergi, karena tidak semuanya perlu ditanggapi.

Duduk Diam di waktu yang sama, di tempat yang sama, di durasi yang sama, di setiap harinya, akan membantu dalam mengasah proses mengamati dan mengalami. Setelahnya, kita dapat tetap melakukan di setiap harinya, dengan, tempat, waktu dan durasi yang diperlukan. 

Akhirnya, ini bukanlah konsep untuk dipahami, namun sikap yang perlu dialami. Gunakan siniar (podcast) Panduan Berkesadaran sebagai salah satu opsi untuk memandu kita berlatih.

Sadar dan Berpikir

Secara neuroscience, otak kita selalu aktif (intrinsic brain activity). Ia secara otomatis bekerja ketika nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan cukup, dan menariknya, proses ini tak selalu memerlukan stimulus dari luar*

Namun demikian, Berpikir tak berarti Sadar. 

Gambar oleh Prottoy Hassan dari Unsplash

Sadar merupakan kondisi di mana kita melihat dan mengalami segala sesuatunya seperti apa adanya. Pada saat berpikir, seringkali kita menanggapi banyak hal dengan beban masa lalu, dan menolak apa yang ada. Berkesadaran adalah berlatih dan berserah dengan berjarak dari pikiran, karena pikiran kita bukanlah kita. 

Menyelesaikan masalah dalam kondisi tidak Sadar misalnya, bisa berarti menjaga nama baik kita, atau menyembunyikan kita, atau tujuan lain yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Terkadang, bahkan menambah masalah itu sendiri. Dalam contoh tadi, peran ego sangatlah kental. Ego, kesayaan, atau keakuan, memang senantiasa melingkupi kita. Dengan Berkesadaran, kita berlatih peka akan kehadiran ego tersebut, sehingga jernih menyikapinya. 

Tentunya ini tidak berarti kita tidak boleh berpikir. Pikiran senantiasa datang dan pergi, Berkesadaran membantu kita untuk menyadarinya, karena tidak semua hal memerlukan pikiran. Menikmati teh di sore hari, mengapresiasi musik, ataupun merasakan mentari di pagi hari, adalah beberapa contoh nyata yang tidak membutuhkan pikiran. Bahkan ada juga proses yang ketika kita berpikir, kita sulit melakukannya, misalnya ketika kita perlu tidur. 

Bisakah kita berpikir ketika perlu, di mana pikiran adalah pembantu, dan bukan penentu. 

Berkesadaran melatih kita untuk peka akan hadirnya pikiran, menyadarinya, dan menerimanya, tanpa menggenggam, tanpa menghempas. Dalam aktivitas keseharian, Berkesadaran akan membantu kita untuk memilih mana pikiran yang perlu diakui kehadirannya tanpa melakukan apapun, mana yang perlu ditindaklanjuti segera, mana yang bisa ditunda, mana yang perlu dilengkapi, mana yang perlu diverifikasi, dan sebagainya. Kita tidak serta merta bereaksi terhadap semua pikiran yang hadir. 

Kemampuan ini akan tertempa, seiring kian giat kita berlatih Berkesadaran.

*  Barrett, L. F. (2016). How emotions are made: The new science of the mind and brain. Place of publication not identified: Houghton Mifflin Harcourt.