Kepekaan

Kepekaan adalah salah satu dari beberapa kualitas yang kita asah dalam Berkesadaran.

Gambar oleh Taylor Nicole dari Unsplash

Mengasah kepekaan, adalah berlatih benar-benar menyadari, dimulai dengan mengamati dan mengalami nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Kian kita peka, kita bisa merasakan, misalnya setiap nafas kita ternyata berbeda-beda di setiap saatnya. 

Sensasi tubuh pun hadir dengan berbagai variasinya, terkadang dahi yang berkernyit, atau turun naiknya dada yang terasakan, bisa juga kembang-kempisnya perut yang lebih mudah dirasakan, atau adanya  rasa pegal di punggung. Selain itu, kita juga bisa menyadari pikiran yang datang silih berganti tanpa bisa kita pilih, termasuk juga berbagai perasaan yang kehadirannya muncul tanpa bisa kita seleksi. 

Ketika kita peka, kita mudah merasakan hadirnya ego, termasuk merasakan perbedaan yang tipis antara berupaya dan mengharuskan, antara berserah dan bermalasan, antara perlu dan ingin, serta antara tekun dan keras kepala. Tampak seperti permainan kata-kata, tapi ketika kita peka, kita bisa merasakan perbedaannya. Dengan kepekaan, kita akan memilih respon kita dengan relatif lebih jernih.

Ketika kita peka, kita mengalami bahwa apa yang dirasa sebagai di luar keberadaan kita, adalah juga apa yang ada di dalam – di luar dan di dalam tidak terpisah dan bukan hal yang berbeda. Ketika kita peka, kita bisa mulai merasakan perbedaan antara mendengarkan dan mendengar, antara empati dan simpati, antara cinta dan nafsu, antara tertarik dan menjadi menarik, antara berkarya dan bekerja, dan lain sebagainya. 

Peka juga membuat kita hati-hati ketika perlu memilih. Terkadang kita terbiasa untuk memilih hanya satu pilihan dari berbagai pilihan yang ada, padahal ada banyak situasi yang bersifat paradoks, dimana yang kita pilih adalah beberapa pilihan sekaligus. Ada situasi tertentu yang membuat kita perlu merasa dan mengukur sekaligus, dan ada situasi juga yang membuat kita perlu menggunakan nurani dan nalar sekaligus. Kepekaan akan membuat kita menyadari bahwa  paradoks-paradoks tersebut memang diperlukan

Bersahabat dengan Rasa Marah

Marah, sebagaimana semua emosi, bersifat netral, dan justru baik karena mengingatkan. Marah mengingatkan adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. 

Gambar oleh Caroline O’Brien dari Unsplash

Berkesadaran (Mindfulness) membuat kita  peka akan segala rasa, termasuk rasa marah. Berkesadaran akan melatih kita untuk peka akan hadirnya rasa marah, dan memilih dengan jernih, bagaimana menindaklanjutinya, hanya ketika dirasa perlu. 

Kalau kita masih sering mudah meluapkan amarah kita, Berkesadaran bisa dipertimbangkan sebagai opsi untuk mengelolanya. Berkesadaran membuat kita menyadari dan berjarak dengan segala emosi, termasuk rasa marah. Jadi emosi-emosi tersebut disadari dan diterima. Dengan menerima, terkadang ia akan luruh dengan sendirinya. 

Namun bukannya tidak mungkin ia menetap bersama kita cukup lama, karenanya kitapun perlu menemani rasa tersebut, tanpa larut ke dalamnya. Cukup dirasakan rasa marah tersebut yang bisa saja juga muncul dalam bentuk nafas, tubuh, dan pikiran.

Bisa juga ia hilang, namun datang kembali. Kita perlu berlatih menyikapinya dengan cara yang sama: sadari, terima, tanpa larut. Demikian selanjutnya, sehingga ia tidak merasa dihempaskan, dan ia juga tidak perlu digenggam. Cukup disadari. 

Tentunya sikap-sikap ini perlu terus dilatih. Dan sebagaimana manusia, bisa saja kita terlanjur meluapkan kemarahan itu. Janganlah kita tambahkan rasa marah yang sudah terlanjur diluapkan itu dengan rasa marah yang baru, namun sekali lagi cukup disadari, bahwa kita sempat tidak sadar dengan ekspresi meluapkan kemarahan itu. 

Tidak ada salahnya kitapun mulai Berkesadaran untuk memahami dari mana rasa marah itu muncul, bukan sekadar Berkesadaran akan rasa marah tersebut. Seringkali bukan kejadian atau kata-kata yang kita dengar, yang dirasa  kurang pas atau perlu kita perbaiki, tetapi kemarahan muncul karena keberadaan ego kita yang terusik. Sebagai contoh, identifikasi kita cenderung dijaga sebagai kebenaran absolut. Suku, agama, ras, adalah identifikasi yang rentan untuk terusik menjadi marah. 

Kian kita berlatih akan hadirnya dan asalnya rasa marah ini, coba tanyakan hal ini dengan tenang:  tanpa kehadiran yang lain, siapakah yang akan disakiti oleh ia yang ingin menyakiti? Seringkali, justru kehadiran kita – kesayaan / ego –  adalah sebab dari rasa sakit. Kian kita berjarak dengan ini, kian marah justru memberikan fungsi terbaiknya: ada yang berbeda antara yang diharapkan dan kenyataan. 

Lalu dengan jernih, coba kita perhatikan. Apa yang sebenarnya diharapkan?  Apa yang dimaksud dengan kenyataan?  Langkah apa yang perlu diambil? Atau bahkan, perlukah ada langkah ini?

Hidup

Gambar oleh Aziz Acharki dari Unsplash

Hidup itu alami.
Hidup itu mengalami.

Memang sesederhana itu.
Memang seabstrak itu.

Sederhana, 
kala kita menerima bahwa kita tarian, 
dan bukan penari.

Bukan tujuan (purpose) & renjana (passion)nya,
tapi peran-peran dalam segala kemajemukannya, 
yang memang tampak hadir sebagai pilihan,
namun sejatinya dianugerahkan.

Abstrak, 
karena di luar jangkauan pemikiran,
walaupun berpikir tetap perlu,
walaupun analisa dan sintesa tetap penting. 
namun semuanya adalah pembantu,
bukan penentu.

Alami hidup, seapa-adanya.
Realita yang sebenarnya.
Bukan karena harus dan ingin,
tabir-tabir dari ego kita.

Alami hidup, tanpa seadanya. 
Bukan acuh  tak peduli,
maupun bermalasan bertopengkan  keberserahan,
karena semua sudah dicukupkan,
segala telah dihamparkan.

Sadari dulu alaminya,
dan ketika perlu,
iterasikan metode,
narasikan semangat,
tanpa melekat,
tanpa semburat,
karena semuanya latihan,
karena semuanya titipan.

Alami hidup,
yang menghidupkan,
bukan sekadar menghidupi.

Peran-Peran: Bukan Passion & Purpose

Gambar oleh Kyle Head dari Unsplash

Hasrat dianggap sebagai penggerak,
karena – katanya – berangkat dari yang suka akan memudahkan.
Padahal suka bisa saja godaan.
Padahal suka sejatinya adalah panggilan.

Tujuan dianggap sebagai arah hidup kita,
karena – katanya – hidup tanpa arah akan limbung bingung.
Namun apapun dan siapapun yang tercipta,
tak mampu tahu pasti maksud penciptaan.

Hasrat dan Tujuan bukannya tak penting, 
tapi perlu tersadari,
agar peka mengalami,
dan terjalin menjalani,
serta arif meneladani.

Jalani keduanya dalam bentuk peran-peran,
dalam Berkesadaran.
Karena peran adalah anugerah,
dan bisa berubah sesuai keselarasan yang diperlukan.

Peran-Peran tak sibuk memilih kesukaan.
Walau peka akan yang suka,
tapi tersadari dulu akan yang hadir.
Walau peka dengan arah yang tampaknya ditunjukkan,
tapi tersadari dulu akan anugerah keberadaan.

Peran adalah dinamika dan debaran tarian.
Peran bukanlah keakuan dan kepastian penari.
Peran adalah keleluasaan yang majemuk,
bukan kelekatan pada satu citra.

Karenanya peran-peran adalah menjalani anugerah,
spasi untuk berlatih dan berserah,
yang perlu tersadari dalam teguh berupaya,
dan sekaligus bersanding dalam teduh berserah.

Spektrum Keberadaan

Gambar oleh Kharim Ghantous dari Unsplash

Terkadang keberadaan saya sepertinya hampa.
Kehidupan tak pernah peduli akan saya.

Adakalanya pula keberadaan saya seperti ditimpakan pada saya.
Kehidupan terjadi karena saya tidak berdaya.
Dan saya tidak bisa memilih.

Sering kali keberadaan saya serasa untuk saya.
Kehidupan adalah hak saya.
Dan karenanya saya sibuk menjaga keterbatasan dan kelangkaan.

Berkali-kali pula keberadaan saya tampak perlu saya.
Kehidupan membutuhkan saya untuk bisa terjadi.
Sayalah pahlawannya, karena kalau bukan saya, siapa lagi?

Sering kali keberadaan saya tampaknya oleh saya.
Kehidupan hanya bisa terjadi, karena kemampuan saya.
Sayalah yang memperjuangkan segalanya.

Sewaktu-waktu keberadaan saya tampaknya bersama saya.
Kehidupan berlangsung karena saya bekerja sama dengan yang lain.
Namun saya sibuk berhitung dan memastikan hak dan kewajiban saya dan mereka.

Berkesadaran mengingatkan bahwa keberadaan saya bukan saya.
Kehidupan melalui saya.
Kian saya berselaras, kian leluasa Kehidupan menjadikan saya pintu.
Kian saya tiada, kian leluasa Kehidupan berekspresi.

Ketiadaan, bukan hampa.