Mengelola Rasa Takut

Setiap dari kita sudah dan akan mengalami rasa takut. 

Takut adalah emosi, dan semua emosi netral dan ada manfaatnya. Takut mengingatkan akan adanya sesuatu yang mungkin tampak berbahaya bagi kita. Karenanya, ketika takut datang, janganlah kita takut. 

Gambar oleh Tim Trad dari Unsplash

Menyadari keberadaan rasa takut, dan juga rasa-rasa lainnya, akan mengasah kepekaan kita kepada keberadaan nafas, tubuh, dan pikiran. Bagaimana nafas kita? Apakah cenderung lebih cepat? Sensasi tubuh apa yang dirasakan? Apakah jantung terasa lebih berdebar? Apakah tubuh kita berkeringat, walau suhu ruang tidak panas? Apakah ada pikiran yang muncul sebelum dan/atau sesudah rasa takut itu tersadari? Misalnya, takut karena nama baik menjadi buruk, takut karena dosa, atau takut karena hal lainnya? 

Alami dulu semuanya seapa-adanya. Tidak ditolak, tidak dienyahkan, tidak dibahas, tidak dihakimi. Cukup sadar diterima. 

Ketika kejernihan hadir, maka, jika dirasa perlu tentunya, kita bisa mulai untuk memahami dari mana rasa takut itu datang, lalu memilih respons yang diperlukan, termasuk tidak memberikan respons. 

Semua rasa, termasuk rasa takut, akan datang dan pergi, dan bisa muncul kembali dalam berbagai bentuknya. Sadari dulu, jangan otomatis bereaksi, dan tidak perlu langsung ditanggapi. Kian kita berlatih, kian kita leluasa memilih tanggapan yang diperlukan, termasuk tidak menanggapi. 

Berkesadaran akan membiasakan kita untuk menyadari rasa takut itu dan berjarak padanya. Berjarak artinya bersikap bahwa kita bukan rasa takut itu, sehingga kita tidak mengatakan ‘saya takut’, namun ‘ada rasa takut’. Berkesadaran, karenanya, juga mengingatkan  agar kita tidak larut dan bahkan tidak dikendalikan oleh rasa takut itu. 

Berkesadaran, tidak menghilangkan rasa takut, tapi menyadari rasa takut. Karena berani, bukan berarti menihilkan rasa takut, namun menyadari,  jernih merespons, walau rasa takut itu masih ada.

Kepekaan

Kepekaan adalah salah satu dari beberapa kualitas yang kita asah dalam Berkesadaran.

Gambar oleh Taylor Nicole dari Unsplash

Mengasah kepekaan, adalah berlatih benar-benar menyadari, dimulai dengan mengamati dan mengalami nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Kian kita peka, kita bisa merasakan, misalnya setiap nafas kita ternyata berbeda-beda di setiap saatnya. 

Sensasi tubuh pun hadir dengan berbagai variasinya, terkadang dahi yang berkernyit, atau turun naiknya dada yang terasakan, bisa juga kembang-kempisnya perut yang lebih mudah dirasakan, atau adanya  rasa pegal di punggung. Selain itu, kita juga bisa menyadari pikiran yang datang silih berganti tanpa bisa kita pilih, termasuk juga berbagai perasaan yang kehadirannya muncul tanpa bisa kita seleksi. 

Ketika kita peka, kita mudah merasakan hadirnya ego, termasuk merasakan perbedaan yang tipis antara berupaya dan mengharuskan, antara berserah dan bermalasan, antara perlu dan ingin, serta antara tekun dan keras kepala. Tampak seperti permainan kata-kata, tapi ketika kita peka, kita bisa merasakan perbedaannya. Dengan kepekaan, kita akan memilih respon kita dengan relatif lebih jernih.

Ketika kita peka, kita mengalami bahwa apa yang dirasa sebagai di luar keberadaan kita, adalah juga apa yang ada di dalam – di luar dan di dalam tidak terpisah dan bukan hal yang berbeda. Ketika kita peka, kita bisa mulai merasakan perbedaan antara mendengarkan dan mendengar, antara empati dan simpati, antara cinta dan nafsu, antara tertarik dan menjadi menarik, antara berkarya dan bekerja, dan lain sebagainya. 

Peka juga membuat kita hati-hati ketika perlu memilih. Terkadang kita terbiasa untuk memilih hanya satu pilihan dari berbagai pilihan yang ada, padahal ada banyak situasi yang bersifat paradoks, dimana yang kita pilih adalah beberapa pilihan sekaligus. Ada situasi tertentu yang membuat kita perlu merasa dan mengukur sekaligus, dan ada situasi juga yang membuat kita perlu menggunakan nurani dan nalar sekaligus. Kepekaan akan membuat kita menyadari bahwa  paradoks-paradoks tersebut memang diperlukan

Bersahabat dengan Rasa Marah

Marah, sebagaimana semua emosi, bersifat netral, dan justru baik karena mengingatkan. Marah mengingatkan adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan. 

Gambar oleh Caroline O’Brien dari Unsplash

Berkesadaran (Mindfulness) membuat kita  peka akan segala rasa, termasuk rasa marah. Berkesadaran akan melatih kita untuk peka akan hadirnya rasa marah, dan memilih dengan jernih, bagaimana menindaklanjutinya, hanya ketika dirasa perlu. 

Kalau kita masih sering mudah meluapkan amarah kita, Berkesadaran bisa dipertimbangkan sebagai opsi untuk mengelolanya. Berkesadaran membuat kita menyadari dan berjarak dengan segala emosi, termasuk rasa marah. Jadi emosi-emosi tersebut disadari dan diterima. Dengan menerima, terkadang ia akan luruh dengan sendirinya. 

Namun bukannya tidak mungkin ia menetap bersama kita cukup lama, karenanya kitapun perlu menemani rasa tersebut, tanpa larut ke dalamnya. Cukup dirasakan rasa marah tersebut yang bisa saja juga muncul dalam bentuk nafas, tubuh, dan pikiran.

Bisa juga ia hilang, namun datang kembali. Kita perlu berlatih menyikapinya dengan cara yang sama: sadari, terima, tanpa larut. Demikian selanjutnya, sehingga ia tidak merasa dihempaskan, dan ia juga tidak perlu digenggam. Cukup disadari. 

Tentunya sikap-sikap ini perlu terus dilatih. Dan sebagaimana manusia, bisa saja kita terlanjur meluapkan kemarahan itu. Janganlah kita tambahkan rasa marah yang sudah terlanjur diluapkan itu dengan rasa marah yang baru, namun sekali lagi cukup disadari, bahwa kita sempat tidak sadar dengan ekspresi meluapkan kemarahan itu. 

Tidak ada salahnya kitapun mulai Berkesadaran untuk memahami dari mana rasa marah itu muncul, bukan sekadar Berkesadaran akan rasa marah tersebut. Seringkali bukan kejadian atau kata-kata yang kita dengar, yang dirasa  kurang pas atau perlu kita perbaiki, tetapi kemarahan muncul karena keberadaan ego kita yang terusik. Sebagai contoh, identifikasi kita cenderung dijaga sebagai kebenaran absolut. Suku, agama, ras, adalah identifikasi yang rentan untuk terusik menjadi marah. 

Kian kita berlatih akan hadirnya dan asalnya rasa marah ini, coba tanyakan hal ini dengan tenang:  tanpa kehadiran yang lain, siapakah yang akan disakiti oleh ia yang ingin menyakiti? Seringkali, justru kehadiran kita – kesayaan / ego –  adalah sebab dari rasa sakit. Kian kita berjarak dengan ini, kian marah justru memberikan fungsi terbaiknya: ada yang berbeda antara yang diharapkan dan kenyataan. 

Lalu dengan jernih, coba kita perhatikan. Apa yang sebenarnya diharapkan?  Apa yang dimaksud dengan kenyataan?  Langkah apa yang perlu diambil? Atau bahkan, perlukah ada langkah ini?

Berkesadaran

Gambar asli oleh Markus Spiske dari Pixabay, diedit oleh Siska

Sekali lagi, ini bukan kata baku dalam bahasa Indonesia. Namun, makna yang ingin disampaikan oleh kata Berkesadaran adalah suatu pola berlatih dan berserah sekaligus untuk tiba dalam kondisi Sadar. Dalam berkesadaran, hidup itu dijalani, bukan dijalankan, dengan jernih seapa-adanya, bukan buram seadanya. 

Seadanya lebih dikenal dengan istilah auto-pilot – suatu pola yang menguntungkan pengelolaan energi oleh otak kita, karena menganggap bahwa apa yang sudah pasti akan terjadi lagi. Kita semua, semoga, sudah belajar bahwa yang lalu tidak bisa dijadikan dasar, karena berbagai alasan. Pertama, apa yang kita ingat belum tentu apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, apa yang kita pikir hikmah dari yang sudah, juga belum tentu satu-satunya pembelajaran yang bisa kita petik. Yang lalu memang sudah terjadi, tetapi tentang apa yang sebenarnya terjadi dari yang lalu dan apakah pembelajaran dari yang sudah terjadi itu sejatinya merupakan suatu spektrum makna yang maha luas. 

Untuk mendekati – dan ketika anugerah itu hadir sehingga kita bisa mencapai – kondisi yang sebenarnya (Sadar) memang memerlukan Berkesadaran. Sekali lagi, ini bukan transaksi yang bersifat sebab dan akibat. Karenanya Berkesadaran tidak akan pernah bisa memastikan Sadar. Ya, Sadar adalah anugerah. 

Berkesadaran mengakui batas-batas kemanusiaan kita, karenanya Berkesadaran akan memilah antara yang biasanya, dan yang tidak biasanya, antara yang perlu dan yang ingin, antara opsi dan distraksi. Karenanya Berkesadaran meminta kita untuk berlatih berjeda. Berjeda melalui latihan duduk diam di setiap harinya. Juga berjeda tiga nafas sebagai antara dari satu kegiatan keseharian kita ke aktivitas keseharian yang lain. Dan juga berjeda dengan berjarak dengan sambil, memilih satu dengan keparalelan kegiatan, yang bagi sebagian didewa-dewikan atas nama efisiensi. 

Sambil adalah ketidakmampuan untuk memilih. Dan berjarak dengan sambil adalah menghormati pilihan. Sehingga makan hanya makan, tidak sambil melihat gawai kita, sehingga menjawab surat elektronik (email) tidak sambil makan, dan lain sebagainya. Sederhana saja, kitapun tak mau menjadi obyek sambilan dari orang lain ketika orang tersebut sedang bersama kita kan?  

Berkesadaran juga mengajak kita untuk berjalan lebih dalam. Kita menghormati pilihan kita karena itulah perilaku yang pertama kali, dan sekaligus terakhir kali. Pertama kali karena semuanya selalu baru, dan terakhir kali karena kita tak pernah bisa mengulanginya lagi di situasi dan kondisi yang persis sama.

Sadar & Berkesadaran

Gambar oleh Maxime Valcarce dari Unsplash

Sadar sering diasosiasikan dengan bangun. Namun Sadar bukan sekadar bangun, karena bisa saja ketika kita bangun, kita tidak menyadari apa yang kita alami. Pernahkah kita pergi ke tempat yang sering dikunjungi, kantor misalnya, namun kita tidak mengalami apapun dari jalan-jalan yang kita lalui? Itulah bangun, yang tidak sadar. 

Sadar juga sering dikonotasikan dengan berpikir. Kalau kita berpikir, berarti kita sadar, demikian pendapat sebagian dari kita. Sadar bukanlah kondisi ketika kita mampu berpikir, karena sebagian besar pikiran adalah hasil dari kemampuan otak untuk melakukan prediksi atas apa-apa yang pernah kita alami sebelumnya. Itu sebabnya autopilot menjadi jauh lebih mudah, dan itu pula sebabnya kita sering memberikan label yang baku kepada sifat maupun kemampuan orang lain, walaupun orang tersebut bisa saja sudah berubah. Kondisi yang memberikan praduga berdasarkan pengalaman masa lalu ini adalah contoh sederhana berpikir yang tidak disadari. 

Sehingga Sadar bukanlah bangun, bukanlah berpikir. Ia adalah sebuah kondisi, dan semua kondisi adalah anugerah. 

Sebagai anugerah, Sadar bukan hasil upaya. Ia bukan sesuatu yang bisa kita buat metodenya dan memberikan jaminan bahwa ia akan bisa tercapai kalau metode itu kita lakukan dengan baik dan benar. Dengan kata lain, Sadar bukan hasil transaksional, karena memang tak bisa dihitung-hitung. Kondisi Sadar selalu diberikan, bukan dipastikan. 

Untuk memudahkan memahami konsep ini, mari kita lihat sehat. Sehat adalah kondisi. Namun ia tak pernah bisa dipastikan. Semua olahragawan bisa dan pernah sakit, banyak ahli nutrisi pernah jatuh sakit, dan semua yang bergaya hidup sehat, tak luput dari kondisi tidak sehat. Ya, sehat adalah kondisi – sesuatu yang tak bisa dipastikan, ia hanya bisa didekati. 

Seperti halnya  sehat, definisi kondisi Sadar tak terbatas dan tak pernah definitif. Sadar adalah anugerah yang hadir tanpa memerlukan sebab. Sadar tak bisa diceritakan dengan lengkap oleh kata, tak bisa digambarkan secara menyeluruh oleh lukisan, dan tak bisa dideskripsikan secara total melalui nada. Definisi paling dekat yang sedikit menggambarkan Sadar adalah kondisi yang dialami dengan seapa-adanya. 

Seapa-adanya merupakan anugerah tanpa transaksi. Sepi dari persepsi. Senyap dari yang sudah. Sunyi dari yang belum.Tak melekat pada apapun. Hanya murni berada.

Sadar bisa didekati, walaupun – sekali lagi – tak pernah bisa dipastikan pencapaiannya. Mendekati sadar adalah dengan melalui Berkesadaran. Kata ini bukan kata baku dalam bahasa Indonesia, namun ia menggambarkan proses berlatih dan sekaligus berserah untuk mencapai kondisi Sadar. Dalam istilah yang lebih populer, Berkesadaran dikenal sebagai Mindfulness

Berkesadaran memiliki dua proses yang berjalan sekaligus. Ia menunjukkan upaya berlatih, yang memerlukan ketekunan, dan membutuhkan pola-pola tertentu. Namun ia juga sekaligus menunjukkan keberserahan, karena upaya berlatih ini bukan untuk memastikan, namun dilakukan dengan segala kerendahan hati untuk tanpa pamrih. 

Berkesadaran adalah perjalanan, yang panjang pendeknya tidak bisa kita ketahui saat ini, dan memang bukan untuk diketahui. Perjalanan ini adalah perjalanan mengalami. Mengalami dengan jernih seapa-adanya, namun tak pernah seadanya.