Organisasi Berkesadaran

Gambar oleh Myriam Fotos dari Pixabay

Organisasi merupakan media berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepribadian dan latar belakang untuk suatu tujuan bersama. Organisasi bisa berupa korporasi, perusahaan rintisan (startup), komunitas, ataupun keluarga. Ketika ia berkesadaran, anggota-anggotanya berlatih dan berserah dalam sadar, mengalami anugerah momen dan peran, dengan jernih dan lepas, seapa-adanya. 

Para pemimpin organisasi ini menetapkan visi dan misi yang bersifat pemeliharaan. Organisasi tak sekadar mementingkan kemenangan akan apapun, namun lebih mementingkan pemeliharaan. Pemeliharan inipun bersifat sementara, siap untuk diestafetkan kepada siapapun, kapanpun. Pemeliharaan ini merupakan perjalanan menuju kebaikan, kebenaran, dan keindahan. 

Kebaikan akan membuat organisasi ini berkutat untuk memberi manfaat bagi para pemangku kepentingan. Kebenaran akan membuat organisasi ini berbagi makna bagi diri dan sekitarnya.  Keindahan akan membuat organisasi ini memberi berkah bagi siapapun yang terlibat dengannya, tanpa melekat dengannya.

Organisasi Berkesadaran perlu membumi, karenanya selain bersifat memelihara, ia memiliki OKR, KPI, ataupun apapun yang bisa diukur, dievaluasi, dikoreksi dan disempurnakan di setiap iterasinya. Bahkan dalam bentuk organisasi yang bukan perusahaan, misalnya komunitas ataupun keluarga, ukuran-ukuran bisa ditetapkan dalam bentuk SMART Goal yang bersifat spesifik, terukur, relatif jelas proses dan pelakunya, realistis, serta memiliki batas waktu untuk mencapainya. Contohnya, organisasi dalam bentuk keluarga muda biasanya berencana kapan memiliki turunan, kapan aset-aset tak bergerak perlu dimiliki, pola pembiayaan, dan lain sebagainya. 

Bagaimana Organisasi Berkesadaran seperti ini bisa dibangun? Mulai dari diri sendiri. Kita perlu teduh dan tekun berlatih dan berserah dalam Berkesadaran di berbagai peran kita di organisasi. Langkah pertama ini akan mengundang siapapun yang beresonansi, untuk bekerja sama dan berlatih bersama dengan kita, secara natural.

Langkah yang kedua adalah dengan membangun komunitas berlatih. Dalam komunitas berlatih ini, kegiatan berlatih berkesadaran dilakukan bersama serta dilakukan secara rutin. Dengan kebersamaannya, forum ini menjadi ruang untuk berbagi pengalaman Berkesadaran dalam keseharian, dalam konteks pribadi maupun profesi. Tentunya proses berbagi pengalaman ini menghormati batas-batas privasi sehingga hanya dilakukan ketika para peserta nyaman melakukannya. Sebagaimana langkah pertama, langkah kedua ini akan menjadi pengingat & penyemangat bagi anggota komunitas berlatih ini, serta menjadi pengundang bagi yang lainnya. 

Langkah selanjutnya adalah dengan memasukkan sifat berkesadaran ke dalam elemen-elemen organisasi: keseharian, proses & sistem, budaya. Dalam keseharian, contohnya, dengan memasukkan pola jeda tiga napas untuk mengawali berbagai pertemuan di organisasi. Dalam proses organisasi, misalnya, bagaimana Berkesadaran diterapkan bukan saja ketika menerima, namun juga ketika melepas anggota organisasi. Contoh lain lagi dalam aspek organisasi misalnya, bagaimana Berkesadaran dibumikan pada  proses penilaian unjuk kerja di organisasi?. Dan tentunya masih banyak lagi.

Tentunya, proses-proses ini perlu terus diukur, dievaluasi, diiterasikan, sehingga menjadi budaya organisasi. Dengan demikian, kebaikan, kebenaran, dan keindahan bisa dirasakan di seluruh organisasi, yang sekali lagi, bukan hanya dalam format korporasi, melainkan juga organisasi kecil seperti keluarga.

Permainan Hidup, Permainan Tak Hingga

Gambar oleh Theandras Barta dari Pixabay

Hidup adalah permainan,
tapi bukan main-main.
Karena bukan menang atau kalahnya,
tapi justru tangis dan tawanya.

Permainan Hidup bukan mencari pemenang,
tapi bermain untuk merayakan permainan,
yang tak kebetulan dianugerahkan.

Permainan Hidup tak pernah sibuk sendiri,
tapi bersukacita mengajak yang lain,
melalui keteladanan dan kebermanfaatan.

Permainan Hidup adalah tarian peran,
karenanya sadar diperlukan,
bukan sibuk mengeluhkan peran,
apalagi palsu bertopeng peran.

Permainan Hidup tak perlu penonton, 
tak butuh gempita laku,
karena panggung bisa mengusung semu,
dan tepuk tangan bisa menuai candu.

Inilah Permainan Tak Hingga,
bisa jadi penuh drama,
tapi tak pernah pura-pura,
sungguh sarat dalam upaya,
namun terpayungi kepasrahan.

Permainan Tak Hingga bukan untuk menduduki Langit, 
karena mengalami bukan bertransaksi,
tapi menjejak bumi,
disini,
kini.

Metode dan Non-Metode

Dalam hidup, kita dibiasakan untuk mengukur, untuk membandingkan, untuk bernalar, dan untuk aktif melakukan. Hampir semua pembicaraan dan kehidupan kita terkait akan hal-hal tersebut.

Gambar oleh Jeremy Perkins dari Unsplash

Orang sering bertanya, apa ukuran keberhasilan kamu – yang sepertinya  memerlukan ukuran.  Atau siapa yang terbaik – yang memang perlu terukur  agar dapat dibandingkan. Atau juga kita sering mendengar, pikir dulu dong, jangan main langsung bertindak saja. Dan kita juga sering berslogan – kalau bukan kita yang mengubahnya, siapa lagi – yang berarti kita perlu aktif melakukan semuanya.

Ya, ukuran-ukuran, penyamarataan – sehingga bisa membandingkan, penggunaan pikiran dalam mengambil keputusan, serta sikap bahwa kita perlu aktif bertindak, sudah sangat mendarah daging. Konsep ini ada dimana-mana, di pendidikan, di rumah, di kantor, dengan berbagai konteksnya. Kita menyebut hal-hal ini sebagai Metode. Akal adalah dasar kita ber-Metode.  

Namun, ketika kita menelisik lebih dalam, ada hal-hal yang bukan termasuk Metode. Tidak semua bisa diukur, namun perlu dirasa. Bagaimana mengukur kelezatan makanan atau indahnya lukisan? Hal lainnya adalah tidak semua bisa dibandingkan, misalnya enak mana, apel atau jeruk? Dan tidak semua proses menjalani kehidupan bisa dinalarkan. Karenanya orang tua seringkali berpesan, hati-hati di jalan ya, bukan pikir-pikir di jalan. Kita menyebut hal-hal ini sebagai Non-Metode. Budi adalah dasar kita ber Non-Metode.

Ketika kita Berkesadaran, maka kitapun tidak terjebak bahwa di tempat, saat, dan peran tertentu kita hanya bisa berMetode saja atau ber Non-Metode saja. Seringkali, keduanya diperlukan sekaligus. Kita sudah sering mendapatkan bahwa, misalnya, teknologi bukan saja dipikirkan dan diukur, namun juga perlu disajikan melalui desain yang lebih mudah untuk dirasakan. Teknologi bukan saja digunakan, tapi dialami. 

Metode dan Non-Metode adalah paradoks, diperlukan sekaligus dalam perjalanan hidup kita. Akal-budi, demikian orang-orang dahulu mengatakannya, mengingatkan kita bahwa Metode dan Non-Metode, diperlukan. Berkesadaran akan membuat kita terlatih untuk menjalani paradoks ini, terjalin tanpa melekat akan keduanya, serta arif menjalankannya. Dengan kata lain, Berkesadaran adalah pintu untuk berakal-budi.

Pimpinan Berkesadaran

Pemimpin Berkesadaran tidak memimpin
Ia adalah katalis.
Katalis yang menumbuhkan kesadaran
Bagi diri, bagi yang lain.

markus-spiske-QozzJpFZ2lg-unsplash
Gambar oleh Markus Spiske dari Unsplash

Ia berlatih sadar bahwa semua bisa saja berangkat dari saya, diri
Ia berlatih sadar bahwa semua bisa saja menuju bagi mereka, diri yang lain
Ia berlatih sadar bahwa saya dan mereka adalah selalu kita

Pemimpin Berkesadaran berbagi melalui keteladanan, tanpa perlu menjadi Sang Teladan
Pemimpin Berkesadaran bercerita melalui cerita diri, tanpa perlu dibuat-buat.

Pemimpin Berkesadaran menyiapkan dan menjalani sistem operasi organisasi
Semata untuk pembelajaran
Bukan untuk menjadi mekanistis
Bukan untuk menjadi otomatis
Bukan untuk menjadi kemelekatan
Pembelajaran yang selalu berubah, sesuai konteks, sesuai yang disadari.

Pemimpin Berkesadaran senantiasa menjalani paradoks.
Ia nyaman mengukur, dan juga jernih merasa
Ia tenteram berpikir, dan juga damai menerima intuisi
Ia bersegera aktif melakukan, dan juga rileks pasif melalukan

Pemimpin Berkesadaran senantiasa menyadari batas ego
Menyadari apakah masih berupaya, atau sudah mengharuskan
Menyadari apakah masih berserah, atau sudah bermalasan
Menyadari apakah ini perlu, atau ini ingin

Pemimpin Berkesadaran senantiasa menjalani
Perjalanan yang berisi latihan yang tak pernah usai
Perjalanan untuk mengasah batas ego yang tak pernah tuntas
Perjalanan untuk menjalani paradoks yang tak pernah selesai

Pemimpin Berkesadaran sadar bahwa Berkesadaran adalah perjalanan.
Ia adalah perjalanan yang sunyi, karena setiap orang unik
Ia adalah perjalanan bersama, karena setiap orang berkelindan dengan yang lainnya.

Kontemplasi Kami ~

All It Takes

“How am I to transform? I see the truth – at least, I see something in it – that a change, a transformation, must begin at a level that the mind, as the conscious or the unconscious, cannot reach, because my consciousness as a whole is conditioned.” ~ Jiddu Krishnamurti

dandelion by Monsterkoi
Picture by Tom (monsterkoi) at Pixabay

Inspired by a few Earth Day initiatives, I once started this project of reducing tissue consumption, simply because I have done plastic on daily basis for a few years now. Reminded of a TED Talk by Joe Smith (“How to use one paper towel”), which I have been practising ever since I watched the talk, it seems to be interesting to extend the practice to other types of tissue and paper.

So the mind began with trying to exactly measure the current tissue consumption, observing the process to find any non-value added use of tissue, and then trying to measure the right quantity that is necessary for each activity. Complicated, that is just how the thinking mind is, as it always runs with assumptions and frameworks. In this case, the mind assumed that there must be a certain perfect formula just like the one for paper towel and it operated under continuous improvement based framework.

It did not get me anywhere.

Until I noticed that as I observed myself taking any tissue or paper towel, the amount that I threw away after use was noticeably less than when I took the paper in a rush or absent mindedly. After a while, I decided to stop trying to figure the perfect practice. This self observation, which is actually one of mindfulness qualities, is sufficient in reducing waste.

“We’re always fixing things, aren’t we? It never strikes us that things don’t need to be fixed. They really don’t. This is a great illumination. They need to be understood. If you understood them, they’d change.” ~ Anthony de Mello

Then I went for one week mindfulness retreat in this really cool facility that allows for no unorganic waste to be left behind in the compound. If we produce ANY unorganic waste, we have to bring them home. And yes, this includes any plastic wraps, bottle, tissue and paper towels.

So I went there with a few big waste plastic bag ready, thinking that no way I could abruptly adopt a lifestyle with so little one-time use things the way it used to be decades ago. Also, retreat is for the so-called “real” practice, I did not wish to trouble myself with any inconveniences that would deter my practice. In other words, I was ready to litter.

Astoundingly, I went home with barely a quarter of small waste plastic bag filled in, and it was not inconvenient, nor did it feel primitive at all. In fact, the lifestyle felt no less natural than breathing when we practice mindfulness in each step, each movement, each breath, in every single task, no matter how simple or unimportant or mundane the task may seem to be. It appears to be easily translated into very little waste.

Since this was so easy, I was easily convinced that I could be just a good friend to the earth as I had been from then on, only to find that being at home, my trash bin quickly fills and I empty my box of tissue just as quickly. How so?

One main variable was the availability of things that could easily turn into waste. This is perhaps one of the few occasions where we find scarcity highly beneficial. The Retreat centre simply did not use nor provide anything that is of single use or non-recyclable. While I have quite a few in my bag, the fact that it was not readily available simplifies our struggle to use less, and because we were mindful, it was effortless not to complain as we easily turned to what is available.

Then, there was hardly any trash bins in the compound that we do not get to see anyone putting anything into trash bins and I recognize the use of clothes instead of tissues every now and then. The only two trash bins within sight are almost empty throughout. Given that human brain is designed to mirror our environment, we tend to behave the way others do. As individuals, each of us endlessly copies and reinforces our behaviours to one another.

In this case, it is easy to reduce our consumption when everyone else does. Removed from such environment, we have to perpetually battle our nature to mimic those around us.

Above all that, most essential is the fact that we were all there to practice mindfulness, being aware of our actions and thoughts from moment to moment. If being Mindful on some trivial moments is already beneficial in reducing tissue consumption without any other active effort, the same applies on a bigger scale during moment to moment mindfulness.

Now imagine applying this to more people working together in an organisation set-up, that is, mindful people working together in a mindful way, with a few mindful ‘conditioning’. CSR would no longer be in constant conflict with shareholders interests. Green marketing would not be a me-too movement under social pressure, but an automatic gesture as a result of Mindful thinking behind every action. We all would have less recycling to do because each of us optimize our consumption and thus the most important link of the reduce-reuse-recycle happens most of the time. The remaining resources, or money, can be allocated for many other things. If people end up using less of our products, they will have more money for the extra frills and services, providing we know what to offer and why we offer them. Everyone will end up happier.

How do we make that happen? Nothing sophisticated, one Mindful breath at a time, one Mindful action at a time, and one Mindful conversation at a time.

That is all it takes, no more, no less.

“I am done with great things and big plans, great institutions and big successes. I am for those tiny, invisible loving human forces that work from individual to individual, creeping through the crannies of the world like so many rootlets, or like the capillary oozing of water, yet which, if given time, will rend the hardest monuments of human pride.”

~ William James