Tentang Duduk Diam

Duduk Diam merupakan salah satu latihan dasar dari Berkesadaran.

Duduk Diam, sebagaimana namanya, adalah latihan untuk diam tidak melakukan apapun, tidak menanggapi apapun dan tidak menghibur diri dengan distraksi. Dilakukannya, tentunya, dalam posisi duduk. Membosankan? Mungkin, tapi bosan juga adalah rasa yang perlu kita alami, sebagaimana rasa-rasa yang lain, melalui Berkesadaran.

Gambar oleh Aziz Acharki dari Unsplash

Jika batin kita dianalogikan sebagai wadah berisi air, maka seluruh kegiatan dan proses berpikir kita adalah proses menabur berbagai macam objek ke dalam wadah tersebut – debu, kerikil, butiran warna-warni, lumpur dan lain sebagainya. Untuk menjernihkan air (yang menganalogikan batin), kita perlu mendiamkan wadahnya, agar seluruh objek tadi perlahan mengendap. Sebaliknya, jika wadah terus bergerak dan air terus diaduk sambil menerima berbagai objek, airnya tidak bisa jernih. Itulah sebabnya, kita perlu Duduk Diam – mendiamkan batin menunggu berbagai obyek yang muncul mengendap dari permukaan, sehingga kejernihan dapat muncul. 

Kita memang perlu berdiam, menyadari dan menunggu agar respon dan ekspresi yang kita lakukan lahir dari ketenangan, lahir dari kejernihan. Duduk Diam menjadi perlu, karena inilah dasar seluruh latihan Berkesadaran kita – untuk mengamati dan mengalami keberadaan kita, jernih seapa-adanya. 

Kita melakukannya dalam posisi duduk, karena inilah posisi yang paling stabil. Dibandingkan dengan berdiri, posisi ini tidak melelahkan, dan dibandingkan dengan tidur, posisi ini tidak melenakan. Posisi duduk dalam diam ini juga membuat kita peka akan keberadaan yang dihadirkan kepada kita – yang untuk mudahnya kita sebut sebagai nafas, tubuh, perasaan, dan pikiran. Dalam kondisi Duduk Diam, kita berkesempatan untuk menyadari, menerima, mengenali obyek-obyek yang hadir ke keberadaan kita, yang mengkondisikan kita, yang bisa mewarnai kondisi batin kita. Kita kian peka, kian mengenal tatanan keberadaan (internal landscape) ini. 

Pola-pola Berkesadaran, termasuk Duduk Diam, tidak pernah memastikan hasil. Karenanya kita berlatih Duduk Diam, untuk berlatih Duduk Diam, bukan untuk meningkatkan kemampuan kita berdiam, karena hasil, tak pernah milik kita. Kita juga berlatih untuk tidak bertransaksi dengan apapun yang kita upayakan. Kebahagiaan, ketenangan, ketidakbahagiaan, dan ketidak-tenangan, maupun rasa-rasa yang lain yang muncul ketika Duduk Diam adalah pengalaman, bukan tujuan, dari Duduk Diam.

Berkesadaran dalam Duduk Diam tidak pula memastikan Sadar, namun berlatih menyadari sehingga biasanya – tanpa mengharuskan – menghadirkan kepekaan, keterjalinan, dan kearifan. Kian kita berlatih, kita juga lebih mudah menyadari ketidak-sadaran kita – melakukan atau mengucapkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu kita ekspresikan. Berkesadaran akan membuat kita mudah menyadari ketidaksadaran itu. 

Berkesadaran dalam Duduk Diam membuat kita jadi lebih terbuka akan pandangan dan persepsi yang bukan karena pengalaman yang lalu, ataupun harapan yang akan datang, karena dalam Duduk Diam, kita senantiasa mengalami pengalaman kebaruan tersebut Tidak ada pengalaman yang persis sama di setiap Duduk Diam. 

Berkesadaran dalam Duduk Diam juga melatih kita, pada waktunya, untuk berjeda sehingga tidak terburu-buru menanggapi apapun yang datang dan pergi, karena tidak semuanya perlu ditanggapi.

Duduk Diam di waktu yang sama, di tempat yang sama, di durasi yang sama, di setiap harinya, akan membantu dalam mengasah proses mengamati dan mengalami. Setelahnya, kita dapat tetap melakukan di setiap harinya, dengan, tempat, waktu dan durasi yang diperlukan. 

Akhirnya, ini bukanlah konsep untuk dipahami, namun sikap yang perlu dialami. Gunakan siniar (podcast) Panduan Berkesadaran sebagai salah satu opsi untuk memandu kita berlatih.

Sadar dan Berpikir

Secara neuroscience, otak kita selalu aktif (intrinsic brain activity). Ia secara otomatis bekerja ketika nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan cukup, dan menariknya, proses ini tak selalu memerlukan stimulus dari luar*

Namun demikian, Berpikir tak berarti Sadar. 

Gambar oleh Prottoy Hassan dari Unsplash

Sadar merupakan kondisi di mana kita melihat dan mengalami segala sesuatunya seperti apa adanya. Pada saat berpikir, seringkali kita menanggapi banyak hal dengan beban masa lalu, dan menolak apa yang ada. Berkesadaran adalah berlatih dan berserah dengan berjarak dari pikiran, karena pikiran kita bukanlah kita. 

Menyelesaikan masalah dalam kondisi tidak Sadar misalnya, bisa berarti menjaga nama baik kita, atau menyembunyikan kita, atau tujuan lain yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Terkadang, bahkan menambah masalah itu sendiri. Dalam contoh tadi, peran ego sangatlah kental. Ego, kesayaan, atau keakuan, memang senantiasa melingkupi kita. Dengan Berkesadaran, kita berlatih peka akan kehadiran ego tersebut, sehingga jernih menyikapinya. 

Tentunya ini tidak berarti kita tidak boleh berpikir. Pikiran senantiasa datang dan pergi, Berkesadaran membantu kita untuk menyadarinya, karena tidak semua hal memerlukan pikiran. Menikmati teh di sore hari, mengapresiasi musik, ataupun merasakan mentari di pagi hari, adalah beberapa contoh nyata yang tidak membutuhkan pikiran. Bahkan ada juga proses yang ketika kita berpikir, kita sulit melakukannya, misalnya ketika kita perlu tidur. 

Bisakah kita berpikir ketika perlu, di mana pikiran adalah pembantu, dan bukan penentu. 

Berkesadaran melatih kita untuk peka akan hadirnya pikiran, menyadarinya, dan menerimanya, tanpa menggenggam, tanpa menghempas. Dalam aktivitas keseharian, Berkesadaran akan membantu kita untuk memilih mana pikiran yang perlu diakui kehadirannya tanpa melakukan apapun, mana yang perlu ditindaklanjuti segera, mana yang bisa ditunda, mana yang perlu dilengkapi, mana yang perlu diverifikasi, dan sebagainya. Kita tidak serta merta bereaksi terhadap semua pikiran yang hadir. 

Kemampuan ini akan tertempa, seiring kian giat kita berlatih Berkesadaran.

*  Barrett, L. F. (2016). How emotions are made: The new science of the mind and brain. Place of publication not identified: Houghton Mifflin Harcourt.

Amati Alami

Kita senantiasa dianugerahkan kondisi, dan semua kondisi tidak pernah bisa sepenuhnya kita pilih. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari kondisi ini, dengan cara mengamati dan mengalami. Parameter sederhana dari kondisi keberadaan kita adalah nafas, tubuh, perasaan, dan pikiran. 

Gambar oleh Chris Yang dari Unsplash

Dengan Berkesadaran, kita mencoba untuk mengamati seapa-adanya, bukan seadanya. Amati tanpa dipikir-pikir, dianalisa, diberi label atau dicari penyebabnya. Kita mengamati tanpa larut di dalamnya, tapi juga tidak mengidentifikasikan keberadaan kita terhadap apa yang sedang muncul dan terjadi.

Dengan Berkesadaran pula, kita mencoba untuk mengalami dengan jernih.  

Semua cara pandang dan pola pikir kita, biasanya terbentuk dari kondisi dan pengalaman masa lalu. Hal ini cenderung menyebabkan distorsi dari kenyataan yang sesungguhnya, dan bahkan memberikan arti tambahan, yang sebenarnya tidak ada, pada pengalaman kita. Dalam Berkesadaran, kita menyadari pola-pola ini, dan berlatih untuk mengamati dan mengalami segala sesuatunya tanpa kebiasaan cara pandang serta pola pikir yang sudah menjadi bagian dari persepsi kita.

Selain itu, apa yang biasanya kita lihat dan kita pikirkan, bisa jadi merupakan apa ingin kita lihat dan ingin kita pikirkan. Nah, yang ‘ingin-ingin’ ini, bukan berbasiskan kebiasaan masa lalu, namun ekspresi akan pengharapan ke masa depan. Peka akan hadirnya keinginan, dan bahkan keharusan, juga merupakan pola yang perlu kita sadari dalam Berkesadaran.

Berkesadaran akan membuat kita peka akan hadirnya ego untuk kedua hal diatas: distorsi akibat kemelekatan dari masa lalu dan masa depan. 

Berkesadaran dapat kita lakukan melalui latihan Duduk Diam dan melalui seluruh sikap kita dalam keseharian, sesuai dengan peran, saat, dan tempatnya.  Lakukan latihan Duduk Diam ini secara rutin, di setiap hari. Jika memungkinkan, dapat dilakukan di tempat yang sama dulu, dengan durasi yang sama, untuk membantu membangun kebiasaan.

Mengelola Rasa Takut

Setiap dari kita sudah dan akan mengalami rasa takut. 

Takut adalah emosi, dan semua emosi netral dan ada manfaatnya. Takut mengingatkan akan adanya sesuatu yang mungkin tampak berbahaya bagi kita. Karenanya, ketika takut datang, janganlah kita takut. 

Gambar oleh Tim Trad dari Unsplash

Menyadari keberadaan rasa takut, dan juga rasa-rasa lainnya, akan mengasah kepekaan kita kepada keberadaan nafas, tubuh, dan pikiran. Bagaimana nafas kita? Apakah cenderung lebih cepat? Sensasi tubuh apa yang dirasakan? Apakah jantung terasa lebih berdebar? Apakah tubuh kita berkeringat, walau suhu ruang tidak panas? Apakah ada pikiran yang muncul sebelum dan/atau sesudah rasa takut itu tersadari? Misalnya, takut karena nama baik menjadi buruk, takut karena dosa, atau takut karena hal lainnya? 

Alami dulu semuanya seapa-adanya. Tidak ditolak, tidak dienyahkan, tidak dibahas, tidak dihakimi. Cukup sadar diterima. 

Ketika kejernihan hadir, maka, jika dirasa perlu tentunya, kita bisa mulai untuk memahami dari mana rasa takut itu datang, lalu memilih respons yang diperlukan, termasuk tidak memberikan respons. 

Semua rasa, termasuk rasa takut, akan datang dan pergi, dan bisa muncul kembali dalam berbagai bentuknya. Sadari dulu, jangan otomatis bereaksi, dan tidak perlu langsung ditanggapi. Kian kita berlatih, kian kita leluasa memilih tanggapan yang diperlukan, termasuk tidak menanggapi. 

Berkesadaran akan membiasakan kita untuk menyadari rasa takut itu dan berjarak padanya. Berjarak artinya bersikap bahwa kita bukan rasa takut itu, sehingga kita tidak mengatakan ‘saya takut’, namun ‘ada rasa takut’. Berkesadaran, karenanya, juga mengingatkan  agar kita tidak larut dan bahkan tidak dikendalikan oleh rasa takut itu. 

Berkesadaran, tidak menghilangkan rasa takut, tapi menyadari rasa takut. Karena berani, bukan berarti menihilkan rasa takut, namun menyadari,  jernih merespons, walau rasa takut itu masih ada.

Kepekaan

Kepekaan adalah salah satu dari beberapa kualitas yang kita asah dalam Berkesadaran.

Gambar oleh Taylor Nicole dari Unsplash

Mengasah kepekaan, adalah berlatih benar-benar menyadari, dimulai dengan mengamati dan mengalami nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Kian kita peka, kita bisa merasakan, misalnya setiap nafas kita ternyata berbeda-beda di setiap saatnya. 

Sensasi tubuh pun hadir dengan berbagai variasinya, terkadang dahi yang berkernyit, atau turun naiknya dada yang terasakan, bisa juga kembang-kempisnya perut yang lebih mudah dirasakan, atau adanya  rasa pegal di punggung. Selain itu, kita juga bisa menyadari pikiran yang datang silih berganti tanpa bisa kita pilih, termasuk juga berbagai perasaan yang kehadirannya muncul tanpa bisa kita seleksi. 

Ketika kita peka, kita mudah merasakan hadirnya ego, termasuk merasakan perbedaan yang tipis antara berupaya dan mengharuskan, antara berserah dan bermalasan, antara perlu dan ingin, serta antara tekun dan keras kepala. Tampak seperti permainan kata-kata, tapi ketika kita peka, kita bisa merasakan perbedaannya. Dengan kepekaan, kita akan memilih respon kita dengan relatif lebih jernih.

Ketika kita peka, kita mengalami bahwa apa yang dirasa sebagai di luar keberadaan kita, adalah juga apa yang ada di dalam – di luar dan di dalam tidak terpisah dan bukan hal yang berbeda. Ketika kita peka, kita bisa mulai merasakan perbedaan antara mendengarkan dan mendengar, antara empati dan simpati, antara cinta dan nafsu, antara tertarik dan menjadi menarik, antara berkarya dan bekerja, dan lain sebagainya. 

Peka juga membuat kita hati-hati ketika perlu memilih. Terkadang kita terbiasa untuk memilih hanya satu pilihan dari berbagai pilihan yang ada, padahal ada banyak situasi yang bersifat paradoks, dimana yang kita pilih adalah beberapa pilihan sekaligus. Ada situasi tertentu yang membuat kita perlu merasa dan mengukur sekaligus, dan ada situasi juga yang membuat kita perlu menggunakan nurani dan nalar sekaligus. Kepekaan akan membuat kita menyadari bahwa  paradoks-paradoks tersebut memang diperlukan