Keuangan dalam Berkesadaran

Gambar oleh micheile dot com dari Unsplash

Keuangan merupakan topik yang biasanya dianggap jauh dan tidak ada hubungannya dengan Berkesadaran.

Sebenarnya fenomena yang mendekatkan uang dengan kebahagiaan, atau sebaliknya yang menjauhkan uang dengan kebahagiaan,  hanyalah satu contoh dari persepsi yang datang dari bagaimana kita semua mengartikan kata. Berkesadaran (Mindfulness) cenderung berkonotasi altruistik, spiritual, lebih dekat pada yang Ilahi. Sementara itu, hal yang berhubungan dengan uang (dan juga Keuangan), cenderung dianggap dekat dengan keduniawian dan tidak begitu mulia. Oleh karena itu, dengan sederhana kita akan mudah berasumsi bahwa Berkesadaran sama dengan menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan uang.

Pada hakikatnya, uang merupakan sebuah alat pembayaran, bentuknya bermacam-macam, cara mendapatkannya juga beragam. Sebuah alat, baik buruknya, bergantung pada bagaimana dan untuk apa alat tersebut digunakan. Demikian juga dengan Keuangan, atau pengelolaan uang, baik dilakukan dan bermanfaat.

Yang sering menimbulkan masalah dan kesusahan bagi kita bukanlah uang itu sendiri, melainkan rasa yang terkait dengannya, yang secara umum ada dua (2). Yang pertama adalah rasa tidak cukup atau tidak puas dengan jumlah yang kita miliki. Ini juga ada kaitannya dengan seberapa banyak dan seberapa lengkap, canggih, dan mewah (sophisticated) hal yang kita inginkan, karena kemudian akan cenderung berbanding lurus dengan jumlah uang yang kita perlukan. Karena yang sesungguhnya kita perlukan sangatlah sedikit jika dibanding yang keinginan kita. Bahkan, kian tersadari, kian terasa bahwa kita sudah dicukupkan.

Rasa yang kedua adalah identifikasi dan penghargaan diri (self-worth)  berdasarkan uang. Semakin banyak yang kita miliki, kita merasa makin bernilai. Kita adalah jumlah uang yang kita miliki. Tentu saja kita semua tahu, tidak demikian sesungguhnya. Namun kita seringkali lupa, dalam kekaguman kita pada orang yang berhasil secara materi, dalam rasa tidak percaya diri kita karena tidak mampu membeli sesuatu yang mahal, dan dalam minat kita pada benda-benda dan hal yang bertarif tinggi, terdapat identifikasi dan penilaian ini. Bahkan sebagian melihat bahwa memiliki itu penting, karena itulah cara untuk dihormati dan diterima oleh sekitarnya.

Berkesadaran adalah suatu latihan di mana kita berupaya untuk melihat dan mengalami.segala sesuatu seperti apa adanya. Jadi, kita melihat uang sebagai sebuah alat. Untuk apa? Untuk memenuhi kebutuhan dasar kita, menjalani tumbuh kembang yang bersifat memelihara serta berkehidupan.  

Objek sekitar kita adalah alat untuk tumbuh kembang dan memelihara ini juga berlaku untuk ilmu dan berbagai hal yang kita anggap sebagai aset. Ketika sebuah objek tidak membuat kita bertumbuh kembang dalam arti sejatinya, tidak membantu kita memelihara kehidupan serta berkehidupan, maka kita sudah melekat pada objek itu. 

Kembali ke konteks uang dan segala yang berhubungan dengan uang, kelola dan sadari, termasuk cara kita mendapatkan, menyimpan dan mengembangkan, juga menggunakannya. Kita tidak melekat dan tidak didefinisikan olehnya.

Peran

Gambar oleh Ahmad Odeh dari Unsplash

Peran adalah paradoks permainan tak berhingga dan permainan berhingga, meminjam istilah James P. Carse. Ia merupakan permainan tak berhingga, karena secara jangka panjang peran kita, apapun itu, bersifat memelihara. Tiga hal yang dipelihara: kebaikan, kebenaran, dan keindahan. 

Kebaikan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi manfaat, tanpa perlu merasa baik. Kebenaran dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi makna, tanpa perlu merasa benar. Keindahan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi berkah, tanpa perlu merasa indah. 

Permainan tak berhingga ini perlu dibumikan dan dikontekskan melalui permainan berhingga, di setiap situasi dan kondisinya. Permainan berhingga perlu diukur, memerlukan metode, dan juga teknologi dan senantiasa mencari obyektivitas. Ini tentunya kontras dan melengkapi permainan tak berhingga yang perlu dirasa, memerlukan hati dan nurani, serta menghormati subjektivitas karena saling memperkaya. 

Peran bukanlah passion (yang cenderung fokus pada kesukaan), karena dalam setiap peran suka dan tidak suka hadir bersamaan. Selain itu suka dan tidak suka cenderung lahir dari ego, sedangkan peran lahir dari situasi dan kondisi yang dianugerahkan. 

Peran bukanlah purpose (yang cenderung hanya fokus pada masa depan dan bisa mengawang), karena ketakberhinggaan peran yang memang bersifat jangka panjang dan mengawang ini, perlu berisi permainan berhingga, yang membumi dan kontekstual. 

Peran bukanlah ikigai yang secara populer disalahartikan sebagai irisan dari kebutuhan dunia, kemahiran kita, kecintaan kita, dan apa yang bisa menghasilkan uang. Peran adalah ikigai dalam makna sejatinya: sumber kehidupan yang memberikan energi. Dengan kata lain, ketika kita berperan, kita menerima energi kehidupan, mengolahnya, dan membagikannya, tanpa perlu memilikinya. Kita melalukan kehidupan. 

Dengan definisi diatas, jelaslah bahwa peran, senantiasa berubah, bukan dipilih, walaupun di setiap konteks kita diberikan ruang untuk tampaknya bisa memilih. Peran bukan capaian, karena apapun yang kita hasilkan, bukanlah kita penyebab utamanya.

Peran adalah keselarasan antara situasi di luar, yang senantiasa dianugerahkan khusus buat kita, dan kondisi di dalam keberadaan kita, dengan segala potensi yang sudah dititipkan. Kita menjalani dan sekaligus menjalankan peran. 

Semua sudah cukup, semua senantiasa hadir tanpa kebetulan. Melalui Berkesadaran, kita mengamati, mengalami, dan mengasah anugerah-anugerah ini, termasuk anugerah peran-peran bagi kita.

Kesehatan Mental

Gambar oleh anthony tran dari Unsplash

Kesehatan Mental (Mental Health) mendapat lebih banyak perhatian terutama sejak pandemi melanda. Kita mulai menyadari pentingnya kesehatan mental sama seperti pentingnya kesehatan jasmani. Pada tahun 2021 yang lalu, Mind Share Partners, sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang kesehatan mental di tempat kerja, melakukan sebuah survey. Hasilnya menunjukkan bahwa gejala gangguan kesehatan mental meningkat, baik secara jumlah maupun durasinya, serta terjadi pada berbagai kelompok usia.

Sejalan dengan meningkatnya perhatian pada kesehatan mental, kita juga semakin sering diingatkan akan pentingnya self care, program-program bertemakan healing juga makin banyak tersedia. 

Di sisi lain, sejak tahun 1970an, banyak penelitian mengenai manfaat Berkesadaran menemukan hasil positif dari mindfulness based intervention (intervensi berbasiskan Berkesadaran) terhadap gejala gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi. Oleh karenanya, banyak program self care dan healing ini berbasiskan, atau paling tidak dikaitkan, dengan mindfulness atau Berkesadaran.

Ada dua sisi ekstrim dalam sebuah spektrum di mana kita berada terkait dengan situasi ini. Keduanya mencoba mencapai atau menjaga kesehatan mental melalui cara yang seringkali tidak selaras dengan keberadaan kita pada saat itu. 

Sisi yang pertama adalah di mana kita merasa perlu untuk selalu bersemangat, selalu berpikir positif dan selalu baik-baik saja di setiap situasi, apapun situasinya, termasuk dalam situasi yang sangat sulit dan kita sudah tidak sanggup lagi. 

Di sisi lainnya adalah kita yang mudah terbawa arus pola hidup populer yang belum tentu cocok dengan kondisi kita saat ini. Misalnya, kita memaksakan diri untuk mengikuti pola makan sehat tertentu, atau melakukan kegiatan relaksasi yang sifatnya penuh distraksi, setiap kali berhadapan dengan sesuatu yang membuat tidak nyaman. 

Secara mendasar, Berkesadaran adalah sebuah latihan untuk mengalami apa yang ada, apakah sulit atau tidak, apakah nyaman atau tidak, kemudian berjeda dan memilih respon dengan sadar, sesuai dengan kondisi kita saat itu. Jika kita jarang berlatih, memang tidak mudah untuk memahami kondisi kita dengan jernih. Ketika kita sering berlatih, maka kita menjadi lebih peka dan arif.

Contoh sederhana yang paling mendasar dari self care yang Berkesadaran adalah bagaimana kita menanggapi apa yang coba disampaikan oleh tubuh kita sendiri. Sudahkah kita makan ketika kita merasa lapar, dan tidak makan ketika tidak merasa lapar? Apakah kita minum minuman yang membuat tubuh merasa lebih nyaman dan segar ataukah cenderung memilih minuman berdasarkan rasa di lidah? Apakah kita sering menahan keinginan untuk ke kamar kecil karena sedang melakukan sesuatu?

Berkesadaran membantu kita untuk lebih peka akan seluruh keberadaan kita, sehingga mampu berjeda untuk merespon dengan sesuai, tanpa memaksakan diri untuk selalu menjadi positif, ataupun larut dalam pola-pola kekinian yang belum tentu selaras dengan kondisi kita.

Beberapa latihan yang dapat membantu terkait dengan kesehatan mental dapat dibaca di Sahabat Saat Panik dan Gelisah, Sekadar Bahagia, Berbaik Hati. Temukan juga latihan lainnya di Sembilan Spasi.

Mengalami Waktu

Gambar oleh Xaviandrew dari Pixabay

Durasi waktu secara umum kita ukur berdasarkan suatu parameter konvensional yang disepakati bersama – 60 detik membentuk 1 menit, 60 menit membentuk 1 jam, 24 jam membentuk 1 hari, dan seterusnya. Konvensi ini, bersama dengan sistem penanggalan memungkinkan kita untuk membuat janji bertemu, menetapkan tenggat waktu, juga menciptakan mesin yang menggerakkan banyak hal, yang bekerja dengan ritme dan persamaan yang mengandung unsur waktu.

Kita mengetahui waktu dengan melihat alat ukurnya – jam dan kalender. Waktu yang demikian kita sebut waktu kronologis.

Seorang ahli fisika kuantum Carlo Rovelli mencetuskan pertanyaan menarik – apa arti sesungguhnya dari kata “waktu berlalu”? Penelitiannya menunjukkan fakta bahwa jam yang sama serupa akan bergerak lebih lambat di tepi laut daripada di gunung. Waktu berdasarkan jam sebagai alat ukur bergerak lebih cepat di gunung daripada di tepi laut. 

Ini berarti, standar alat ukur waktu menjadi tidak lagi standar, dan ini secara fundamental mengubah cara kita melihat waktu, dan yang terutama, mengalami waktu. 

Kita juga mengalami waktu dalam waktu psikologis. Waktu ini berlalu lebih cepat atau lambat dibandingkan dengan waktu kronologis, tergantung pada keberadaan kita di saat tersebut. Ketika sedang merasa tidak nyaman, waktu terasa berjalan sangat lambat. Sementara, ketika sedang melakukan hal yang kita sukai, waktu terasa berjalan terlalu cepat.

Secara umum, waktu psikologis terjadi karena kita melekat pada apa yang kita sukai, dan tidak menerima dalam mengalami hal yang tidak kita sukai. Ketika sadar akan hadirnya waktu psikologis, kita memahami bahwa ada sesuatu dalam sikap kita yang tidak Berkesadaran, yaitu  tidak sedang berupaya untuk mengalami segala sesuatu seperti apa adanya, bahwa apa yang hadir akan berlalu, cepat atau lambat.

Dengan waktu yang berlalu, kita juga mengenal dimensi waktu sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan, yaitu sesuatu yang dianggap sudah berlalu, sedang berlangsung dan belum terjadi. Dimensi ini seringkali dianggap sebagai sumber penderitaan bagi banyak dari kita, karena kita cenderung berada pada masa lalu dan masa mendatang. Ini ada benarnya, tapi sesungguhnya belum lengkap.

Hal yang lebih fundamental adalah definisi dari dimensi waktu ini sendiri menunjukkan bahwa waktu hanya ada jika ada yang dibandingkan, yaitu antara sesuatu yang dianggap sudah, sedang dan belum terjadi. 

Batin yang selalu membandingkan inilah yang memunculkan waktu, menciptakan perubahan yang kita sebut sebagai berlalunya waktu, yang kemudian menghasilkan dimensi masa lalu, masa kini dan masa datang. Menarik untuk disadari, kebiasaan membandingkan ini terjadi di hampir semua perilaku kita. Ketika berkesadaran, kita hanya bersama keberadaan kita di setiap waktunya, tanpa ada yang sudah, yang akan, yang belum. 

Kita mengalami waktu dan waktu mengalami kita.

Keberadaan

Gambar oleh Sylas Boesten dari Unsplash

Keberadaan kita, secara sederhana, direpresentasikan oleh napas, tubuh, perasaan, dan pikiran, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kian kita Berkesadaran, kian kita paham bahwa ke empat elemen ini adalah kita dan juga bukanlah kita. Kian kita berlatih & berserah dalam berkesadaran, kita mengalami bahwa keberadaan kita juga dilekati oleh dua hal lainnya. 

Yang pertama adalah Ekspresi Peranti. Yang kedua adalah Yang Belum Selesai. 

Ekspresi adalah cara kita merespons kondisi dan situasi sekitar kita. Lebih dari sekadar soft skills, seperti cara berkomunikasi, kolaborasi, memimpin dan dipimpin, ia juga mencakup hal-hal yang sederhana seperti bahasa tubuh kita, maupun yang fundamental, seperti peran yang kita pilih, sebagai orangtua, pasangan, ataupun anggota komunitas. 

Peranti adalah tatanan yang kita bangun, kelola, dan kembangkan untuk merespons kondisi dan situasi sekitar kita. Lebih dari sekadar pola membuat ide (ideation) dan kompetensi dari kondisi, ia juga mencakup pranata dan tatanan yang dibangun untuk menjalankan ide dan kompetensi tersebut, seperti metodologi dan teknologi.  

Ekspresi dan Peranti adalah jembatan untuk membumikan kepekaan, keterjalinan, & kearifan. Ketika kita berkesadaran, kita tidak bereaksi secara otomatis terhadap impuls-impuls yang hadir dari kondisi dan situasi, melainkan memilih respons dengan jernih, melalui Ekspresi dan Peranti. Ketika kita tidak berkesadaran, kita digunakan oleh Ekspresi dan Peranti kita, terikat dengan kebiasaan, melekat dengan yang kita nyaman menggunakannya, atau melekat dengan kepakaran yang kita bangun melaluinya. Kita takut berubah untuk menggunakan Ekspresi Peranti yang lain, lelah akan perjalanan pembelajarannya, atau bahkan  malu untuk menjadi tampak bodoh kembali. 

Hal kedua yang hadir bersama dengan keberadaan kita adalah yang kita sebut sebagai Yang Belum Selesai. Yang Belum Selesai merupakan keperluan, keinginan, dan keharusan, hasil dari satu maupun kombinasi dari kumpulan ingatan, dan trauma dari masa lalu maupun ketakutan akan masa depan yang terus mengiang-ngiang di dalam keberadaan kita. Selain bersifat individual, Yang Belum Selesai bisa juga lahir dari kebiasaan kolektif yang terbangun dari norma dan budaya sekitar.  

Ketika kita berkesadaran, Yang Belum Selesai tersadari dan bisa menjadi agenda dari peran-peran kita, yang memang perlu diselesaikan. Dalam perspektif ini, ia menjadi kompas dan fokus kita, tanpa perlu terpenjara olehnya karena kita sadar bahwa peran itu panggilan, bukan keharusan. Ketika kita belum berkesadaran, Yang Belum Selesai, memperkeruh pikiran serta menumpulkan perasaan dalam keberadaan kita. Dalam perspektif ini, ia menjadi godaan dari sekadar kesukaan yang perlu dilepaskan.

Karena kita mengalami betul bahwa napas, tubuh, perasaan, dan pikiran tak pernah sama dan tak pernah abadi, maka kitapun kian menyadari bahwa Ekspresi Peranti dan Yang Belum Selesai sebagai bagian dari kesadaran, juga tak pernah serupa dan sama selamanya. Keberadaan kita senantiasa baru.