Peran

Gambar oleh Ahmad Odeh dari Unsplash

Peran adalah paradoks permainan tak berhingga dan permainan berhingga, meminjam istilah James P. Carse. Ia merupakan permainan tak berhingga, karena secara jangka panjang peran kita, apapun itu, bersifat memelihara. Tiga hal yang dipelihara: kebaikan, kebenaran, dan keindahan. 

Kebaikan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi manfaat, tanpa perlu merasa baik. Kebenaran dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi makna, tanpa perlu merasa benar. Keindahan dipelihara dengan cara beriterasi dan berbagi berkah, tanpa perlu merasa indah. 

Permainan tak berhingga ini perlu dibumikan dan dikontekskan melalui permainan berhingga, di setiap situasi dan kondisinya. Permainan berhingga perlu diukur, memerlukan metode, dan juga teknologi dan senantiasa mencari obyektivitas. Ini tentunya kontras dan melengkapi permainan tak berhingga yang perlu dirasa, memerlukan hati dan nurani, serta menghormati subjektivitas karena saling memperkaya. 

Peran bukanlah passion (yang cenderung fokus pada kesukaan), karena dalam setiap peran suka dan tidak suka hadir bersamaan. Selain itu suka dan tidak suka cenderung lahir dari ego, sedangkan peran lahir dari situasi dan kondisi yang dianugerahkan. 

Peran bukanlah purpose (yang cenderung hanya fokus pada masa depan dan bisa mengawang), karena ketakberhinggaan peran yang memang bersifat jangka panjang dan mengawang ini, perlu berisi permainan berhingga, yang membumi dan kontekstual. 

Peran bukanlah ikigai yang secara populer disalahartikan sebagai irisan dari kebutuhan dunia, kemahiran kita, kecintaan kita, dan apa yang bisa menghasilkan uang. Peran adalah ikigai dalam makna sejatinya: sumber kehidupan yang memberikan energi. Dengan kata lain, ketika kita berperan, kita menerima energi kehidupan, mengolahnya, dan membagikannya, tanpa perlu memilikinya. Kita melalukan kehidupan. 

Dengan definisi diatas, jelaslah bahwa peran, senantiasa berubah, bukan dipilih, walaupun di setiap konteks kita diberikan ruang untuk tampaknya bisa memilih. Peran bukan capaian, karena apapun yang kita hasilkan, bukanlah kita penyebab utamanya.

Peran adalah keselarasan antara situasi di luar, yang senantiasa dianugerahkan khusus buat kita, dan kondisi di dalam keberadaan kita, dengan segala potensi yang sudah dititipkan. Kita menjalani dan sekaligus menjalankan peran. 

Semua sudah cukup, semua senantiasa hadir tanpa kebetulan. Melalui Berkesadaran, kita mengamati, mengalami, dan mengasah anugerah-anugerah ini, termasuk anugerah peran-peran bagi kita.

Kesehatan Mental

Gambar oleh anthony tran dari Unsplash

Kesehatan Mental (Mental Health) mendapat lebih banyak perhatian terutama sejak pandemi melanda. Kita mulai menyadari pentingnya kesehatan mental sama seperti pentingnya kesehatan jasmani. Pada tahun 2021 yang lalu, Mind Share Partners, sebuah organisasi non-profit yang bergerak di bidang kesehatan mental di tempat kerja, melakukan sebuah survey. Hasilnya menunjukkan bahwa gejala gangguan kesehatan mental meningkat, baik secara jumlah maupun durasinya, serta terjadi pada berbagai kelompok usia.

Sejalan dengan meningkatnya perhatian pada kesehatan mental, kita juga semakin sering diingatkan akan pentingnya self care, program-program bertemakan healing juga makin banyak tersedia. 

Di sisi lain, sejak tahun 1970an, banyak penelitian mengenai manfaat Berkesadaran menemukan hasil positif dari mindfulness based intervention (intervensi berbasiskan Berkesadaran) terhadap gejala gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi. Oleh karenanya, banyak program self care dan healing ini berbasiskan, atau paling tidak dikaitkan, dengan mindfulness atau Berkesadaran.

Ada dua sisi ekstrim dalam sebuah spektrum di mana kita berada terkait dengan situasi ini. Keduanya mencoba mencapai atau menjaga kesehatan mental melalui cara yang seringkali tidak selaras dengan keberadaan kita pada saat itu. 

Sisi yang pertama adalah di mana kita merasa perlu untuk selalu bersemangat, selalu berpikir positif dan selalu baik-baik saja di setiap situasi, apapun situasinya, termasuk dalam situasi yang sangat sulit dan kita sudah tidak sanggup lagi. 

Di sisi lainnya adalah kita yang mudah terbawa arus pola hidup populer yang belum tentu cocok dengan kondisi kita saat ini. Misalnya, kita memaksakan diri untuk mengikuti pola makan sehat tertentu, atau melakukan kegiatan relaksasi yang sifatnya penuh distraksi, setiap kali berhadapan dengan sesuatu yang membuat tidak nyaman. 

Secara mendasar, Berkesadaran adalah sebuah latihan untuk mengalami apa yang ada, apakah sulit atau tidak, apakah nyaman atau tidak, kemudian berjeda dan memilih respon dengan sadar, sesuai dengan kondisi kita saat itu. Jika kita jarang berlatih, memang tidak mudah untuk memahami kondisi kita dengan jernih. Ketika kita sering berlatih, maka kita menjadi lebih peka dan arif.

Contoh sederhana yang paling mendasar dari self care yang Berkesadaran adalah bagaimana kita menanggapi apa yang coba disampaikan oleh tubuh kita sendiri. Sudahkah kita makan ketika kita merasa lapar, dan tidak makan ketika tidak merasa lapar? Apakah kita minum minuman yang membuat tubuh merasa lebih nyaman dan segar ataukah cenderung memilih minuman berdasarkan rasa di lidah? Apakah kita sering menahan keinginan untuk ke kamar kecil karena sedang melakukan sesuatu?

Berkesadaran membantu kita untuk lebih peka akan seluruh keberadaan kita, sehingga mampu berjeda untuk merespon dengan sesuai, tanpa memaksakan diri untuk selalu menjadi positif, ataupun larut dalam pola-pola kekinian yang belum tentu selaras dengan kondisi kita.

Beberapa latihan yang dapat membantu terkait dengan kesehatan mental dapat dibaca di Sahabat Saat Panik dan Gelisah, Sekadar Bahagia, Berbaik Hati. Temukan juga latihan lainnya di Sembilan Spasi.

Mengalami Waktu

Gambar oleh Xaviandrew dari Pixabay

Durasi waktu secara umum kita ukur berdasarkan suatu parameter konvensional yang disepakati bersama – 60 detik membentuk 1 menit, 60 menit membentuk 1 jam, 24 jam membentuk 1 hari, dan seterusnya. Konvensi ini, bersama dengan sistem penanggalan memungkinkan kita untuk membuat janji bertemu, menetapkan tenggat waktu, juga menciptakan mesin yang menggerakkan banyak hal, yang bekerja dengan ritme dan persamaan yang mengandung unsur waktu.

Kita mengetahui waktu dengan melihat alat ukurnya – jam dan kalender. Waktu yang demikian kita sebut waktu kronologis.

Seorang ahli fisika kuantum Carlo Rovelli mencetuskan pertanyaan menarik – apa arti sesungguhnya dari kata “waktu berlalu”? Penelitiannya menunjukkan fakta bahwa jam yang sama serupa akan bergerak lebih lambat di tepi laut daripada di gunung. Waktu berdasarkan jam sebagai alat ukur bergerak lebih cepat di gunung daripada di tepi laut. 

Ini berarti, standar alat ukur waktu menjadi tidak lagi standar, dan ini secara fundamental mengubah cara kita melihat waktu, dan yang terutama, mengalami waktu. 

Kita juga mengalami waktu dalam waktu psikologis. Waktu ini berlalu lebih cepat atau lambat dibandingkan dengan waktu kronologis, tergantung pada keberadaan kita di saat tersebut. Ketika sedang merasa tidak nyaman, waktu terasa berjalan sangat lambat. Sementara, ketika sedang melakukan hal yang kita sukai, waktu terasa berjalan terlalu cepat.

Secara umum, waktu psikologis terjadi karena kita melekat pada apa yang kita sukai, dan tidak menerima dalam mengalami hal yang tidak kita sukai. Ketika sadar akan hadirnya waktu psikologis, kita memahami bahwa ada sesuatu dalam sikap kita yang tidak Berkesadaran, yaitu  tidak sedang berupaya untuk mengalami segala sesuatu seperti apa adanya, bahwa apa yang hadir akan berlalu, cepat atau lambat.

Dengan waktu yang berlalu, kita juga mengenal dimensi waktu sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan, yaitu sesuatu yang dianggap sudah berlalu, sedang berlangsung dan belum terjadi. Dimensi ini seringkali dianggap sebagai sumber penderitaan bagi banyak dari kita, karena kita cenderung berada pada masa lalu dan masa mendatang. Ini ada benarnya, tapi sesungguhnya belum lengkap.

Hal yang lebih fundamental adalah definisi dari dimensi waktu ini sendiri menunjukkan bahwa waktu hanya ada jika ada yang dibandingkan, yaitu antara sesuatu yang dianggap sudah, sedang dan belum terjadi. 

Batin yang selalu membandingkan inilah yang memunculkan waktu, menciptakan perubahan yang kita sebut sebagai berlalunya waktu, yang kemudian menghasilkan dimensi masa lalu, masa kini dan masa datang. Menarik untuk disadari, kebiasaan membandingkan ini terjadi di hampir semua perilaku kita. Ketika berkesadaran, kita hanya bersama keberadaan kita di setiap waktunya, tanpa ada yang sudah, yang akan, yang belum. 

Kita mengalami waktu dan waktu mengalami kita.

Kearifan

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Selain Kepekaan dan Keterjalinan, kualitas lain yang diharapkan muncul sejalan dengan Berkesadaran adalah Kearifan. Ketiga kualitas ini saling mendukung dan terhubung satu sama lainnya. Ketika lebih peka, kita paham dan merasakan keterjalinan dengan yang lain. Ketika terjalin, kita jadi lebih arif. Ketika lebih arif bersikap, kepekaan akan jauh lebih terasa. 

Kearifan merupakan suatu pengetahuan dan pemahaman yang bijaksana. Ini berbeda dengan pengetahuan yang menghasilkan kepandaian dan keterampilan. Bagaimana membedakannya, dan mengapa perlu kita bedakan?

Kita semua tumbuh dan berkembang dalam dunia pendidikan yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih pandai, lebih cerdas dan lebih mampu dalam segala hal. Untuk menjadi sukses dan berhasil, kita perlu mengumpulkan keterampilan dan pengetahuan yang lebih dari orang lain. 

Keterampilan, kepandaian, membantu kita semua untuk menjalani hari, menciptakan kemudahan bagi hidup banyak orang, dan proses belajar itu sendiri membuat kita lebih berkembang, lebih berpengetahuan. Oleh karena itu, keterampilan dan kepandaian sangat perlu dan dapat bermanfaat bagi diri sendiri, maupun bagi orang banyak.

Namun, ada pengetahuan yang datangnya dari proses di luar nalar berpikir, di luar informasi dari luar. Alih-alih, pengetahuan ini datang dari pemahaman mendalam tentang kebenaran sesungguhnya dari hakikat diri dan semesta. Pengetahuan ini sejatinya sudah ada dalam diri kita semua, kita hanya perlu mengingatnya kembali. Inilah kearifan, sesuatu yang bijak.

Dengan kearifan, kita mengumpulkan keterampilan bukan sekedar untuk kenyamanan hidup apalagi status. Dengan kearifan, kita mampu melihat hakikat hidup yang fana, dan jernih memilih untuk apa dan bagaimana kepandaian digunakan, menyadari agar kita tidak digunakan kepandaian.

Orang yang mengumpulkan kepandaian bisa terjerumus menjadi bangga, jika bukan sombong, akan kepandaiannya. Semakin banyak yang terkumpul, si pandai menjadi semakin bangga, merasa makin ada. Orang yang berlatih menuju kearifan, makin merasa tidak banyak tahu. Semakin banyak melepas, sang bijak semakin rendah hati, makin tiada.

Oleh karena itu, kita lakukan latihan Berkesadaran di setiap waktu dan kesempatannya, mengundang kehadiran Kearifan, bersama dengan Kepekaan dan Keterjalinan, kualitas-kualitas yang menjadikan kita benar-benar berada, melalukan dalam laku maupun tanpa laku.

Keterjalinan

Selain kepekaan, keterjalinan adalah yang kita asah melalui Berkesadaran. 

Gambar oleh JJ Ying dari Unsplash

Keterjalinan adalah suatu kondisi di mana kita semua saling terhubung satu sama lain, apakah dengan hal ataupun dengan orang yang kita anggap merupakan bagian dari kita, ataupun yang sepertinya bukan merupakan bagian dari kita. Sejatinya, kita semua adalah bagian tak terpisahkan. 

Keterjalinan tidak berarti bermalasan tanpa memilih, karena kita merasa sudah terhubung dengan semuanya. Inilah peran Berkesadaran, karena hampir di setiap saatnya kita memilih. Berkesadaran akan memudahkan kita untuk menyadari, siapa yang memilih, kenapa dipilih, dan bahkan lebih mendasar lagi, apakah ada yang perlu dipilih. 

Keterjalinan bukanlah melekat. Melekat, ketika kita berkesadaran, adalah indikasi akan  hadirnya ego. Melekat adalah sikap-sikap yang diekspresikan ketika berupaya menjadi mengharuskan, ketika perlu menjadi ingin, ketika berserah menjadi bermalasan, ketika tertarik menjadi ingin tampak menarik, dan lain sebagainya. 

Keterjalinan membantu menghadirkan sikap peduli akan semua yang dihadirkan, dengan keingintahuan, tanpa ingin memiliki, tanpa harus mengerti. Dalam keterjalinan, apapun yang kita lakukan, pikirkan, putuskan, mempengaruhi keberadaan kita dengan yang lain. Dalam Berkesadaran kita menyadari hal ini, dan dengan peduli (sadar) untuk bertindak dan memilih, tentunya jika perlu.

Keterjalinan yang berbasiskan Berkesadaran juga berarti menyadari bahwa semua keterhubungan tidak pernah abadi. Kita sebenarnya sudah sering mengalami bahwa tidak ada rasa bahagia selamanya, sebagaimana juga nestapa tak pernah abadi. 

Kita belajar bahwa kita tidak menjalankan, tapi menjalani. Banyak pertanyaan hidup itu bukan untuk dijawab, tapi dijalani dengan kepedulian & ketekunan, serta dilepas ketika waktunya.

Inilah keterjalinan kita dengan kehidupan, ada namun tak pernah abadi.