Kearifan

Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Selain Kepekaan dan Keterjalinan, kualitas lain yang diharapkan muncul sejalan dengan Berkesadaran adalah Kearifan. Ketiga kualitas ini saling mendukung dan terhubung satu sama lainnya. Ketika lebih peka, kita paham dan merasakan keterjalinan dengan yang lain. Ketika terjalin, kita jadi lebih arif. Ketika lebih arif bersikap, kepekaan akan jauh lebih terasa. 

Kearifan merupakan suatu pengetahuan dan pemahaman yang bijaksana. Ini berbeda dengan pengetahuan yang menghasilkan kepandaian dan keterampilan. Bagaimana membedakannya, dan mengapa perlu kita bedakan?

Kita semua tumbuh dan berkembang dalam dunia pendidikan yang mengajarkan kita untuk menjadi lebih pandai, lebih cerdas dan lebih mampu dalam segala hal. Untuk menjadi sukses dan berhasil, kita perlu mengumpulkan keterampilan dan pengetahuan yang lebih dari orang lain. 

Keterampilan, kepandaian, membantu kita semua untuk menjalani hari, menciptakan kemudahan bagi hidup banyak orang, dan proses belajar itu sendiri membuat kita lebih berkembang, lebih berpengetahuan. Oleh karena itu, keterampilan dan kepandaian sangat perlu dan dapat bermanfaat bagi diri sendiri, maupun bagi orang banyak.

Namun, ada pengetahuan yang datangnya dari proses di luar nalar berpikir, di luar informasi dari luar. Alih-alih, pengetahuan ini datang dari pemahaman mendalam tentang kebenaran sesungguhnya dari hakikat diri dan semesta. Pengetahuan ini sejatinya sudah ada dalam diri kita semua, kita hanya perlu mengingatnya kembali. Inilah kearifan, sesuatu yang bijak.

Dengan kearifan, kita mengumpulkan keterampilan bukan sekedar untuk kenyamanan hidup apalagi status. Dengan kearifan, kita mampu melihat hakikat hidup yang fana, dan jernih memilih untuk apa dan bagaimana kepandaian digunakan, menyadari agar kita tidak digunakan kepandaian.

Orang yang mengumpulkan kepandaian bisa terjerumus menjadi bangga, jika bukan sombong, akan kepandaiannya. Semakin banyak yang terkumpul, si pandai menjadi semakin bangga, merasa makin ada. Orang yang berlatih menuju kearifan, makin merasa tidak banyak tahu. Semakin banyak melepas, sang bijak semakin rendah hati, makin tiada.

Oleh karena itu, kita lakukan latihan Berkesadaran di setiap waktu dan kesempatannya, mengundang kehadiran Kearifan, bersama dengan Kepekaan dan Keterjalinan, kualitas-kualitas yang menjadikan kita benar-benar berada, melalukan dalam laku maupun tanpa laku.

Keterjalinan

Selain kepekaan, keterjalinan adalah yang kita asah melalui Berkesadaran. 

Gambar oleh JJ Ying dari Unsplash

Keterjalinan adalah suatu kondisi di mana kita semua saling terhubung satu sama lain, apakah dengan hal ataupun dengan orang yang kita anggap merupakan bagian dari kita, ataupun yang sepertinya bukan merupakan bagian dari kita. Sejatinya, kita semua adalah bagian tak terpisahkan. 

Keterjalinan tidak berarti bermalasan tanpa memilih, karena kita merasa sudah terhubung dengan semuanya. Inilah peran Berkesadaran, karena hampir di setiap saatnya kita memilih. Berkesadaran akan memudahkan kita untuk menyadari, siapa yang memilih, kenapa dipilih, dan bahkan lebih mendasar lagi, apakah ada yang perlu dipilih. 

Keterjalinan bukanlah melekat. Melekat, ketika kita berkesadaran, adalah indikasi akan  hadirnya ego. Melekat adalah sikap-sikap yang diekspresikan ketika berupaya menjadi mengharuskan, ketika perlu menjadi ingin, ketika berserah menjadi bermalasan, ketika tertarik menjadi ingin tampak menarik, dan lain sebagainya. 

Keterjalinan membantu menghadirkan sikap peduli akan semua yang dihadirkan, dengan keingintahuan, tanpa ingin memiliki, tanpa harus mengerti. Dalam keterjalinan, apapun yang kita lakukan, pikirkan, putuskan, mempengaruhi keberadaan kita dengan yang lain. Dalam Berkesadaran kita menyadari hal ini, dan dengan peduli (sadar) untuk bertindak dan memilih, tentunya jika perlu.

Keterjalinan yang berbasiskan Berkesadaran juga berarti menyadari bahwa semua keterhubungan tidak pernah abadi. Kita sebenarnya sudah sering mengalami bahwa tidak ada rasa bahagia selamanya, sebagaimana juga nestapa tak pernah abadi. 

Kita belajar bahwa kita tidak menjalankan, tapi menjalani. Banyak pertanyaan hidup itu bukan untuk dijawab, tapi dijalani dengan kepedulian & ketekunan, serta dilepas ketika waktunya.

Inilah keterjalinan kita dengan kehidupan, ada namun tak pernah abadi.

Asah

Berkesadaran memerlukan Amati dan Alami. Keduanya, perlu kita Asah.

Gambar oleh Yoann Boyer dari Unsplash

Orang yang menyebut dirinya berpengalaman sebenarnya adalah orang yang menyadari keberadaannya. Ia senantiasa mengasah amati dan alami. Ia mengasah kepekaan, keterjalinan, dan kearifan dalam mengamati dan mengalami. Ia berkesadaran di setiap waktu, tempat, dan perannya. Pengalaman, bukan peristiwa dari masa lalu – ia adalah kondisi di setiap momennya. 

Agar kita benar-benar mengasah amati dan alami, kita memerlukan kepekaan – sikap untuk menyadari kondisi keberadaan dalam bentuk sensasi yang dialami melalui nafas, tubuh, pikiran, dan perasaan. Tanpa mengasah amati dan alami, maka yang bisa  terjadi adalah ketidakpekaan – ketidaktahuan kita akan perubahan ritme nafas kita, sensasi yang terjadi di tubuh, serta pikiran dan perasaan yang masuk. 

Ketidaktahuan ini, akan terjadidalam keseharian kita. Kian kita tidak peka, kian kita tidak sadar bahwa sikap, tutur, interaksi maupun keputusan yang kita ambil tidak jernih terjadi. Rasa kesal kita terhadap satu peristiwa, dapat mempengaruhi sikap kita terhadap orang lain yang tak ada hubungannya dengan peristiwa tersebut. Atau rasa bahagia kita terhadap suatu momen, dapat menjadi euforia yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan kita di situasi yang tidak ada hubungannya

Dengan melatih kepekaan, kita berlatih memilih respon kita dengan lebih jernih, di setiap momennya

Tentunya kepekaan tidak berarti sensitif dalam makna yang sering kita pergunakan dalam keseharian. Sensitif – biasa dikatakan sensi –  dalam makna keseharian adalah kita jadi larut dalam kondisi, sehingga mudah tersinggung dan memberikan ekspresi yang tidak perlu. Dengan berlatih kepekaan, yang terjadi adalah yang sebaliknya, kita menyadari akan obyek-obyek yang hadir ke dalam keberadaan kita, sehingga bisa memilih mana yang perlu ditindaklanjuti, mana yang dibiarkan hadir untuk berlalu. 

Kepekaan-kepekaan ini kita asah, bukan saja untuk menyadari keberadaan kita di setiap momen, namun membantu kita untuk membawakan diri kita dalam kehidupan ini. Sehingga misalnya, kepekaan yang terasah melalui latihan, akan membantu kita menyadari passion dan purpose, termasuk tidak melekat dengan passion dan purpose kita. 

Kepekaan tidak terbatas pada keberadaan sendiri. Ia juga berarti jernih melihat situasi di luar keberadaan kita, orang-orang di sekitar kita, obyek di sekitar kita, ingatan kita, dan cara kita melihat ke depan. Lebih jauh lagi, kepekaan akan menyadari bahwa kita dan sekitar kita tidak terpisahkan.

Sadar dan Berpikir

Secara neuroscience, otak kita selalu aktif (intrinsic brain activity). Ia secara otomatis bekerja ketika nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan cukup, dan menariknya, proses ini tak selalu memerlukan stimulus dari luar*

Namun demikian, Berpikir tak berarti Sadar. 

Gambar oleh Prottoy Hassan dari Unsplash

Sadar merupakan kondisi di mana kita melihat dan mengalami segala sesuatunya seperti apa adanya. Pada saat berpikir, seringkali kita menanggapi banyak hal dengan beban masa lalu, dan menolak apa yang ada. Berkesadaran adalah berlatih dan berserah dengan berjarak dari pikiran, karena pikiran kita bukanlah kita. 

Menyelesaikan masalah dalam kondisi tidak Sadar misalnya, bisa berarti menjaga nama baik kita, atau menyembunyikan kita, atau tujuan lain yang sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Terkadang, bahkan menambah masalah itu sendiri. Dalam contoh tadi, peran ego sangatlah kental. Ego, kesayaan, atau keakuan, memang senantiasa melingkupi kita. Dengan Berkesadaran, kita berlatih peka akan kehadiran ego tersebut, sehingga jernih menyikapinya. 

Tentunya ini tidak berarti kita tidak boleh berpikir. Pikiran senantiasa datang dan pergi, Berkesadaran membantu kita untuk menyadarinya, karena tidak semua hal memerlukan pikiran. Menikmati teh di sore hari, mengapresiasi musik, ataupun merasakan mentari di pagi hari, adalah beberapa contoh nyata yang tidak membutuhkan pikiran. Bahkan ada juga proses yang ketika kita berpikir, kita sulit melakukannya, misalnya ketika kita perlu tidur. 

Bisakah kita berpikir ketika perlu, di mana pikiran adalah pembantu, dan bukan penentu. 

Berkesadaran melatih kita untuk peka akan hadirnya pikiran, menyadarinya, dan menerimanya, tanpa menggenggam, tanpa menghempas. Dalam aktivitas keseharian, Berkesadaran akan membantu kita untuk memilih mana pikiran yang perlu diakui kehadirannya tanpa melakukan apapun, mana yang perlu ditindaklanjuti segera, mana yang bisa ditunda, mana yang perlu dilengkapi, mana yang perlu diverifikasi, dan sebagainya. Kita tidak serta merta bereaksi terhadap semua pikiran yang hadir. 

Kemampuan ini akan tertempa, seiring kian giat kita berlatih Berkesadaran.

*  Barrett, L. F. (2016). How emotions are made: The new science of the mind and brain. Place of publication not identified: Houghton Mifflin Harcourt.

Amati Alami

Kita senantiasa dianugerahkan kondisi, dan semua kondisi tidak pernah bisa sepenuhnya kita pilih. Yang perlu kita lakukan adalah menyadari kondisi ini, dengan cara mengamati dan mengalami. Parameter sederhana dari kondisi keberadaan kita adalah nafas, tubuh, perasaan, dan pikiran. 

Gambar oleh Chris Yang dari Unsplash

Dengan Berkesadaran, kita mencoba untuk mengamati seapa-adanya, bukan seadanya. Amati tanpa dipikir-pikir, dianalisa, diberi label atau dicari penyebabnya. Kita mengamati tanpa larut di dalamnya, tapi juga tidak mengidentifikasikan keberadaan kita terhadap apa yang sedang muncul dan terjadi.

Dengan Berkesadaran pula, kita mencoba untuk mengalami dengan jernih.  

Semua cara pandang dan pola pikir kita, biasanya terbentuk dari kondisi dan pengalaman masa lalu. Hal ini cenderung menyebabkan distorsi dari kenyataan yang sesungguhnya, dan bahkan memberikan arti tambahan, yang sebenarnya tidak ada, pada pengalaman kita. Dalam Berkesadaran, kita menyadari pola-pola ini, dan berlatih untuk mengamati dan mengalami segala sesuatunya tanpa kebiasaan cara pandang serta pola pikir yang sudah menjadi bagian dari persepsi kita.

Selain itu, apa yang biasanya kita lihat dan kita pikirkan, bisa jadi merupakan apa ingin kita lihat dan ingin kita pikirkan. Nah, yang ‘ingin-ingin’ ini, bukan berbasiskan kebiasaan masa lalu, namun ekspresi akan pengharapan ke masa depan. Peka akan hadirnya keinginan, dan bahkan keharusan, juga merupakan pola yang perlu kita sadari dalam Berkesadaran.

Berkesadaran akan membuat kita peka akan hadirnya ego untuk kedua hal diatas: distorsi akibat kemelekatan dari masa lalu dan masa depan. 

Berkesadaran dapat kita lakukan melalui latihan Duduk Diam dan melalui seluruh sikap kita dalam keseharian, sesuai dengan peran, saat, dan tempatnya.  Lakukan latihan Duduk Diam ini secara rutin, di setiap hari. Jika memungkinkan, dapat dilakukan di tempat yang sama dulu, dengan durasi yang sama, untuk membantu membangun kebiasaan.