Yoga Class, my Asylum

In the early days of my yoga asana (pose) practice, I shifted from someone who never work out to a gym regular. Attending one to two classes every other day, it felt like I just could not have enough of them.

Despite this Yoga enthusiasm, somehow I did not practice at home.

Not at all.

Back then, I could have said that it was because I was still such a beginner that I did not know how to do it without instructions, and I thought that was the reason. But later I reckoned that I was actually in love with “yoga classes”, and not only “yoga” per se because amusingly, simply being in the class suffices for joy and excitement. So I figured there must be something about these classes that turns something on. But what is it?

Some people, if not most, go through their days with companies. I suppose that is why humans are recognised as social beings. So they have to have someone accompanying them when they go for lunch, movies, shopping, and – going to Yoga classes, especially if you are new to the practice, or to the community. Guess what, I am exactly not that kind of person, which does not mean I do not enjoy company. There are just things that I can do just fine, if not better, without company. Attending yoga classes is one of them.

When I first started attending the classes, by myself, I did not know anyone in the class, I did not know the teacher, and so I relaxed into being myself. That felt really good.
yoga-1102410

Photo by Melissa Mai at Pixbay

This reminds me of a story by Kahlil Gibran about a young man in an insane asylum that stands out from other inmates because he behaves normally. When asked why he was in the asylum, he spoke of how his father wanted him to be a brilliant lawyer like himself, his uncle hoped he would follow him by owning a large emporium, his mother wanted him to be like her beloved father, his sister set her husband before him as an example of the successful man, his brother tried to train him up to be a fine athlete like himself. The young man decided to enter the asylum because there at least, he can be himself.

I do not think this story only talks about family’s expectation. Rather, it is about man’s expectation towards one another, the way we human expect from one another of things we think is right, pleasant and good. Gibran said it in profound truth, “None of them looked at me as one should look at a man, but as if they were looking in a mirror.” I am grateful to find that I only had to go to yoga class to be myself instead of an insane asylum.

So there I was, enjoying myself with every pose that I was supposed to do, utterly carefree of what other people are doing nor did I care whether they care how I performed the poses. I was a beginner, and it is good to be stupid and carefree about it.

This was until people who regularly attend the classes started noticing me as another regular and teachers began spotting my presence too. That marked the end of my invisibility that has made the sessions so enjoyable. While it is enjoyable knowing these people and making friends with some of them, I sometimes miss this anonymity. It is not that now I care how others are doing in the class nor do I care whether they care how I am doing, being invisible just feels good in a different way. Being comfortable with looking silly is very peaceful.

I wish it was as easy to turn any place into an Asylum. And so it is our every day practice to make that happen. When we find Asylum anywhere we are, there is peace and joy everywhere.

Melepas – mudah diucapkan, sulit dilakukan

Melepas
Gambar oleh Gianandrea Villa dari Unsplash

Melepas, yang bahasa zaman now nya ‘letting go’, atau bahasa jadulnya ‘ikhlas’, bukan hal yang mudah dan instan, namun perlu dilatih. Dan sebagaimana manusia biasa, latihan ini tak pernah berhenti, terlepas kita ‘sedang mau’ melepas atau ‘sedang tidak mau’ melepas.

Frase terakhir perlu kita bahas sedikit, karena melepas bukan masalah ‘sedang mau atau sedang tidak mau’. Melepas adalah sikap keseharian. Melepas bukan saja karena ‘musibah’, namun melepas juga karena ‘hadiah’.

Melepas perlu diawali dengan Kesadaran. Inipun kata ‘abstrak’ yang sulit diwakilkan oleh kalimat dan bahkan cerita karena kata dan kalimat sendiri adalah keterbatasan. Namun untuk singkatnya Kesadaran, setidaknya bagi yang berlatih, mengingatkan kembali ketiadaan kita. Artinya, kita tidak ada dan tidak memiliki apa-apa.

Dengan mengawali dengan Kesadaran, melepas menjadi sami mawon atau idem ditto dengan menerima. Keduanya menjadi ‘tidak pernah terjadi’. Yang ada hanyalah titipan sementara atau dilewati sementara. Terkadang marah lewat, terkadang suka cita lewat. Terkadang menerima barang, dan terkadang kehilangan barang. Semuanya bukan untuk kita, karena kita tiada.

Kita tiada – pun menimbulkan kompleksitas tersendiri. Untuk apa berupaya dan ingin, kalau kita tidak ada? Apa arti prestasi bagi ketiadaan?

Sebagian mencoba mendekatinya dengan beraksioma berupaya tanpa memaksa, dan berserah tanpa terserah. Artinya ‘kita – dan ketiadaan kita’ hanya melalukan. Melalukan apa yang dilewatkan dari satu saat ke saat yang lain. Namun melalukan bukan ketidakpedulian, ada pilihan disana.

Nah pilihan pun memberikan dilema baru. Bagaimana kita memilih? Kan kita tiada? Bagaimana ketiadaan bisa memilih? Ketiadaan itu dipilihkan. Dan pendekataannya – lagi-lagi kata ini yang digunakan karena kita bukan orang suci, namun orang-orang yang berlatih’, adalah mencoba meniadakan ego. Ini adalah latihan bertingkat-tingkat, karena egopun berlapis-lapis. Tampaknya kita bisa mengelola ego, tapi seringkali – setidaknya saya – ego yang baru muncul selalu.

Mengelola ego memang perjalanan tak pernah selesai. Sampai kapan? Sampai kita diizinkan.

Jadi melepas adalah masalah antusiasme dalam keseharian untuk memantaskan diri dihadapan Diri agar diri menjadi tiada, dan hanya tinggal Diri – apapun itu. ‘

Antusiasme untuk berlatih agar Kesadaran hadir – atau lebih tepat dihadirkan – dan kita meniadakan diri untuk masuk ke dalamnya. Sehingga menerima, ataupun melepas, menjadi sama saja (konon ini yang disebut sebagai non dualisme – atau bahkan Tauhid: segalanya tiada hanya yang Satu).

Sulit, memang.
Kan kita manusia.
Dan sebaiknya tidak sibuk beralasan, namun sibuk berlatih.

Hanya itu yang bisa kita upayakan, dan sekali lagi, tanpa mengharuskan.

Teman Kembali

“For ages you have come and gone courting this delusion.
For ages you have run from the pain and forfeited the ecstasy.
So come, return to the root of the root of your own soul.

Although you appear in earthly form
Your essence is pure Consciousness.
You are the fearless guardian of Divine Light.
So come, return to the root of the root of your own soul. 

Soul of all souls, life of all life – you are That.
Seen and unseen, moving and unmoving – you are That.
The road that leads to the City is endless;
Go without head and feet
and you’ll already be there.
What else could you be? – you are That.”

Mawlana Jalal-al-Din Rumi
(translation by Jonathan Star)

Gambar oleh Flavio Conca dari Unsplash

Kami cenderung menyebut kami Teman Kembali, manusia-manusia yang menjalani kemanusiaannya dengan semua keunikannya, dan sekaligus juga menjalankan kemanusiaannya bersama dengan yang lain, dengan semua kesamaannya.

Menjalani keunikan adalah menjalani kesejatian, menemukan kembali  sesuatu yang dari awal sudah dititipkan. Menjalani kebersamaan adalah menjalani ketidak kebetulan yang sengaja dihadirkan untuk menemani dan menyemangati dalam kebaikan dan kesabaran. 

Kami mengajak siapapun yang tergerak untuk berjalan kembali bersama, sebagai individu, sebagai katalis, sebagai pereka-cipta, dalam berbagai konteksnya – kesendirian, keluarga, komunitas, dan organisasi. Ajakan yang tidak mengharuskan, ajakan yang boleh jadi hanya mengingatkan:

bahwa kita kembali
bahwa kita sendiri, dan sekaligus bersama
bahwa kita bernalar, dan sekaligus bernurani
bahwa kita bertujuan, dan sekaligus tidak bertujuan

Perjalanan kembali perlu disadari. Dan kesadaran perlu dilatih, sendiri serta bersama-sama. Untuk itu kami hadir, menemani yang berkenan kembali, dan mendapatkan teman yang berkenan menemani kami berjalan kembali. 

Kita berlatih bersama untuk menyadari keberadaan. Berawal dari pengamatan nafas, pikiran, perasaan, dan tubuh. Diiringi kesengajaan untuk mengalami, mengakui dan menerima apapun dengan tentram, serta melepasnya dengan damai. Lalu mengasah diri untuk terus mengamati dan mengalami, sehingga kian sadar akan batas diri serta nyaman hidup dengan segala paradoks yang ada. 

Sehingga perjalanan kembali bisa benar-benar dijalani.

Mari kita kembali.