Melepas – mudah diucapkan, sulit dilakukan

Melepas
Gambar oleh Gianandrea Villa dari Unsplash

Melepas, yang bahasa zaman now nya ‘letting go’, atau bahasa jadulnya ‘ikhlas’, bukan hal yang mudah dan instan, namun perlu dilatih. Dan sebagaimana manusia biasa, latihan ini tak pernah berhenti, terlepas kita ‘sedang mau’ melepas atau ‘sedang tidak mau’ melepas.

Frase terakhir perlu kita bahas sedikit, karena melepas bukan masalah ‘sedang mau atau sedang tidak mau’. Melepas adalah sikap keseharian. Melepas bukan saja karena ‘musibah’, namun melepas juga karena ‘hadiah’.

Melepas perlu diawali dengan Kesadaran. Inipun kata ‘abstrak’ yang sulit diwakilkan oleh kalimat dan bahkan cerita karena kata dan kalimat sendiri adalah keterbatasan. Namun untuk singkatnya Kesadaran, setidaknya bagi yang berlatih, mengingatkan kembali ketiadaan kita. Artinya, kita tidak ada dan tidak memiliki apa-apa.

Dengan mengawali dengan Kesadaran, melepas menjadi sami mawon atau idem ditto dengan menerima. Keduanya menjadi ‘tidak pernah terjadi’. Yang ada hanyalah titipan sementara atau dilewati sementara. Terkadang marah lewat, terkadang suka cita lewat. Terkadang menerima barang, dan terkadang kehilangan barang. Semuanya bukan untuk kita, karena kita tiada.

Kita tiada – pun menimbulkan kompleksitas tersendiri. Untuk apa berupaya dan ingin, kalau kita tidak ada? Apa arti prestasi bagi ketiadaan?

Sebagian mencoba mendekatinya dengan beraksioma berupaya tanpa memaksa, dan berserah tanpa terserah. Artinya ‘kita – dan ketiadaan kita’ hanya melalukan. Melalukan apa yang dilewatkan dari satu saat ke saat yang lain. Namun melalukan bukan ketidakpedulian, ada pilihan disana.

Nah pilihan pun memberikan dilema baru. Bagaimana kita memilih? Kan kita tiada? Bagaimana ketiadaan bisa memilih? Ketiadaan itu dipilihkan. Dan pendekataannya – lagi-lagi kata ini yang digunakan karena kita bukan orang suci, namun orang-orang yang berlatih’, adalah mencoba meniadakan ego. Ini adalah latihan bertingkat-tingkat, karena egopun berlapis-lapis. Tampaknya kita bisa mengelola ego, tapi seringkali – setidaknya saya – ego yang baru muncul selalu.

Mengelola ego memang perjalanan tak pernah selesai. Sampai kapan? Sampai kita diizinkan.

Jadi melepas adalah masalah antusiasme dalam keseharian untuk memantaskan diri dihadapan Diri agar diri menjadi tiada, dan hanya tinggal Diri – apapun itu. ‘

Antusiasme untuk berlatih agar Kesadaran hadir – atau lebih tepat dihadirkan – dan kita meniadakan diri untuk masuk ke dalamnya. Sehingga menerima, ataupun melepas, menjadi sama saja (konon ini yang disebut sebagai non dualisme – atau bahkan Tauhid: segalanya tiada hanya yang Satu).

Sulit, memang.
Kan kita manusia.
Dan sebaiknya tidak sibuk beralasan, namun sibuk berlatih.

Hanya itu yang bisa kita upayakan, dan sekali lagi, tanpa mengharuskan.