Bersama Waktu

Siapa kita yang bisa memilih waktu?
Hari lahir bukan pilihan kita.
Hari wafat bukan pilihan kita.

Gambar oleh Aron Visuals dari Unsplash

Siapa kita bisa mengejar waktu?
Karena hasil tak pernah karena kita.
dan ketergesaan membawa ketidaksadaran.
dan keterburuan membuka kesengsaraan.

Siapa kita dikejar oleh waktu?
Waktu hadir karena ilusi.
agar logika bisa diisi.
agar makna seakan terealisasi.

Ada baiknya kita bersama waktu.
Karena yang sudah tak akan kembali.
Karena yang belum mungkin tak akan ke sini.
Namun yang kini, itulah yang kita alami.

Bukan mengejar waktu.
Bukan dikejar waktu.
Namun bersama waktu.

Satu

Ketika kita makan,
sadarkah bahwa yang kita makan
ikhlas bersatu dengan kita?
rela menjadi bagian tumbuh kembang kita?

Satu

Ketika kita memandang,
sadarkah bahwa yang kita amati
ikhlas bersatu dengan kita?
menumbuhkan inspirasi
ataupun menjadi pengingat jiwa

Ketika kita berinteraksi
sadarkah bahwa yang kita temui
ikhlas memberi ilmu bagi kita
tidak selalu dalam ceria
namun senantiasa memberi makna

Ketika kita bernafas
sadarkah bahwa yang kita hirup
ikhlas memberi kita hidup

Ketika kita hidup
semuanya ikhlas menyatu ke dalam kita

~ Kontemplasi Kami ~

Melepas – mudah diucapkan, sulit dilakukan

Melepas
Gambar oleh Gianandrea Villa dari Unsplash

Melepas, yang bahasa zaman now nya ‘letting go’, atau bahasa jadulnya ‘ikhlas’, bukan hal yang mudah dan instan, namun perlu dilatih. Dan sebagaimana manusia biasa, latihan ini tak pernah berhenti, terlepas kita ‘sedang mau’ melepas atau ‘sedang tidak mau’ melepas.

Frase terakhir perlu kita bahas sedikit, karena melepas bukan masalah ‘sedang mau atau sedang tidak mau’. Melepas adalah sikap keseharian. Melepas bukan saja karena ‘musibah’, namun melepas juga karena ‘hadiah’.

Melepas perlu diawali dengan Kesadaran. Inipun kata ‘abstrak’ yang sulit diwakilkan oleh kalimat dan bahkan cerita karena kata dan kalimat sendiri adalah keterbatasan. Namun untuk singkatnya Kesadaran, setidaknya bagi yang berlatih, mengingatkan kembali ketiadaan kita. Artinya, kita tidak ada dan tidak memiliki apa-apa.

Dengan mengawali dengan Kesadaran, melepas menjadi sami mawon atau idem ditto dengan menerima. Keduanya menjadi ‘tidak pernah terjadi’. Yang ada hanyalah titipan sementara atau dilewati sementara. Terkadang marah lewat, terkadang suka cita lewat. Terkadang menerima barang, dan terkadang kehilangan barang. Semuanya bukan untuk kita, karena kita tiada.

Kita tiada – pun menimbulkan kompleksitas tersendiri. Untuk apa berupaya dan ingin, kalau kita tidak ada? Apa arti prestasi bagi ketiadaan?

Sebagian mencoba mendekatinya dengan beraksioma berupaya tanpa memaksa, dan berserah tanpa terserah. Artinya ‘kita – dan ketiadaan kita’ hanya melalukan. Melalukan apa yang dilewatkan dari satu saat ke saat yang lain. Namun melalukan bukan ketidakpedulian, ada pilihan disana.

Nah pilihan pun memberikan dilema baru. Bagaimana kita memilih? Kan kita tiada? Bagaimana ketiadaan bisa memilih? Ketiadaan itu dipilihkan. Dan pendekataannya – lagi-lagi kata ini yang digunakan karena kita bukan orang suci, namun orang-orang yang berlatih’, adalah mencoba meniadakan ego. Ini adalah latihan bertingkat-tingkat, karena egopun berlapis-lapis. Tampaknya kita bisa mengelola ego, tapi seringkali – setidaknya saya – ego yang baru muncul selalu.

Mengelola ego memang perjalanan tak pernah selesai. Sampai kapan? Sampai kita diizinkan.

Jadi melepas adalah masalah antusiasme dalam keseharian untuk memantaskan diri dihadapan Diri agar diri menjadi tiada, dan hanya tinggal Diri – apapun itu. ‘

Antusiasme untuk berlatih agar Kesadaran hadir – atau lebih tepat dihadirkan – dan kita meniadakan diri untuk masuk ke dalamnya. Sehingga menerima, ataupun melepas, menjadi sama saja (konon ini yang disebut sebagai non dualisme – atau bahkan Tauhid: segalanya tiada hanya yang Satu).

Sulit, memang.
Kan kita manusia.
Dan sebaiknya tidak sibuk beralasan, namun sibuk berlatih.

Hanya itu yang bisa kita upayakan, dan sekali lagi, tanpa mengharuskan.

Teman Kembali

“For ages you have come and gone courting this delusion.
For ages you have run from the pain and forfeited the ecstasy.
So come, return to the root of the root of your own soul.

Although you appear in earthly form
Your essence is pure Consciousness.
You are the fearless guardian of Divine Light.
So come, return to the root of the root of your own soul. 

Soul of all souls, life of all life – you are That.
Seen and unseen, moving and unmoving – you are That.
The road that leads to the City is endless;
Go without head and feet
and you’ll already be there.
What else could you be? – you are That.”

Mawlana Jalal-al-Din Rumi
(translation by Jonathan Star)

Gambar oleh Flavio Conca dari Unsplash

Kami cenderung menyebut kami Teman Kembali, manusia-manusia yang menjalani kemanusiaannya dengan semua keunikannya, dan sekaligus juga menjalankan kemanusiaannya bersama dengan yang lain, dengan semua kesamaannya.

Menjalani keunikan adalah menjalani kesejatian, menemukan kembali  sesuatu yang dari awal sudah dititipkan. Menjalani kebersamaan adalah menjalani ketidak kebetulan yang sengaja dihadirkan untuk menemani dan menyemangati dalam kebaikan dan kesabaran. 

Kami mengajak siapapun yang tergerak untuk berjalan kembali bersama, sebagai individu, sebagai katalis, sebagai pereka-cipta, dalam berbagai konteksnya – kesendirian, keluarga, komunitas, dan organisasi. Ajakan yang tidak mengharuskan, ajakan yang boleh jadi hanya mengingatkan:

bahwa kita kembali
bahwa kita sendiri, dan sekaligus bersama
bahwa kita bernalar, dan sekaligus bernurani
bahwa kita bertujuan, dan sekaligus tidak bertujuan

Perjalanan kembali perlu disadari. Dan kesadaran perlu dilatih, sendiri serta bersama-sama. Untuk itu kami hadir, menemani yang berkenan kembali, dan mendapatkan teman yang berkenan menemani kami berjalan kembali. 

Kita berlatih bersama untuk menyadari keberadaan. Berawal dari pengamatan nafas, pikiran, perasaan, dan tubuh. Diiringi kesengajaan untuk mengalami, mengakui dan menerima apapun dengan tentram, serta melepasnya dengan damai. Lalu mengasah diri untuk terus mengamati dan mengalami, sehingga kian sadar akan batas diri serta nyaman hidup dengan segala paradoks yang ada. 

Sehingga perjalanan kembali bisa benar-benar dijalani.

Mari kita kembali.