Mengalami Waktu

Gambar oleh Xaviandrew dari Pixabay

Durasi waktu secara umum kita ukur berdasarkan suatu parameter konvensional yang disepakati bersama – 60 detik membentuk 1 menit, 60 menit membentuk 1 jam, 24 jam membentuk 1 hari, dan seterusnya. Konvensi ini, bersama dengan sistem penanggalan memungkinkan kita untuk membuat janji bertemu, menetapkan tenggat waktu, juga menciptakan mesin yang menggerakkan banyak hal, yang bekerja dengan ritme dan persamaan yang mengandung unsur waktu.

Kita mengetahui waktu dengan melihat alat ukurnya – jam dan kalender. Waktu yang demikian kita sebut waktu kronologis.

Seorang ahli fisika kuantum Carlo Rovelli mencetuskan pertanyaan menarik – apa arti sesungguhnya dari kata “waktu berlalu”? Penelitiannya menunjukkan fakta bahwa jam yang sama serupa akan bergerak lebih lambat di tepi laut daripada di gunung. Waktu berdasarkan jam sebagai alat ukur bergerak lebih cepat di gunung daripada di tepi laut. 

Ini berarti, standar alat ukur waktu menjadi tidak lagi standar, dan ini secara fundamental mengubah cara kita melihat waktu, dan yang terutama, mengalami waktu. 

Kita juga mengalami waktu dalam waktu psikologis. Waktu ini berlalu lebih cepat atau lambat dibandingkan dengan waktu kronologis, tergantung pada keberadaan kita di saat tersebut. Ketika sedang merasa tidak nyaman, waktu terasa berjalan sangat lambat. Sementara, ketika sedang melakukan hal yang kita sukai, waktu terasa berjalan terlalu cepat.

Secara umum, waktu psikologis terjadi karena kita melekat pada apa yang kita sukai, dan tidak menerima dalam mengalami hal yang tidak kita sukai. Ketika sadar akan hadirnya waktu psikologis, kita memahami bahwa ada sesuatu dalam sikap kita yang tidak Berkesadaran, yaitu  tidak sedang berupaya untuk mengalami segala sesuatu seperti apa adanya, bahwa apa yang hadir akan berlalu, cepat atau lambat.

Dengan waktu yang berlalu, kita juga mengenal dimensi waktu sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan, yaitu sesuatu yang dianggap sudah berlalu, sedang berlangsung dan belum terjadi. Dimensi ini seringkali dianggap sebagai sumber penderitaan bagi banyak dari kita, karena kita cenderung berada pada masa lalu dan masa mendatang. Ini ada benarnya, tapi sesungguhnya belum lengkap.

Hal yang lebih fundamental adalah definisi dari dimensi waktu ini sendiri menunjukkan bahwa waktu hanya ada jika ada yang dibandingkan, yaitu antara sesuatu yang dianggap sudah, sedang dan belum terjadi. 

Batin yang selalu membandingkan inilah yang memunculkan waktu, menciptakan perubahan yang kita sebut sebagai berlalunya waktu, yang kemudian menghasilkan dimensi masa lalu, masa kini dan masa datang. Menarik untuk disadari, kebiasaan membandingkan ini terjadi di hampir semua perilaku kita. Ketika berkesadaran, kita hanya bersama keberadaan kita di setiap waktunya, tanpa ada yang sudah, yang akan, yang belum. 

Kita mengalami waktu dan waktu mengalami kita.

Anugerah

Gambar oleh Noaa dari Unsplash

Rezeki itu anugerah
Musibah juga anugerah

Bahagia itu anugerah
Nestapa juga anugerah

Cemas itu anugerah
Tenteram juga anugerah

Iri hati itu anugerah
Empati juga anugerah

Semuanya tak pernah abadi
Semuanya tak pernah selamanya

Karena memang bukan anugerahnya,
tapi menyadarinya,
dan menerimanya,
serta melalukannya,
tanpa menggenggamnya,
tanpa menghempaskannya.

Bersama Waktu

Siapa kita yang bisa memilih waktu?
Hari lahir bukan pilihan kita.
Hari wafat bukan pilihan kita.

Gambar oleh Aron Visuals dari Unsplash

Siapa kita bisa mengejar waktu?
Karena hasil tak pernah karena kita.
dan ketergesaan membawa ketidaksadaran.
dan keterburuan membuka kesengsaraan.

Siapa kita dikejar oleh waktu?
Waktu hadir karena ilusi.
agar logika bisa diisi.
agar makna seakan terealisasi.

Ada baiknya kita bersama waktu.
Karena yang sudah tak akan kembali.
Karena yang belum mungkin tak akan ke sini.
Namun yang kini, itulah yang kita alami.

Bukan mengejar waktu.
Bukan dikejar waktu.
Namun bersama waktu.

Satu

Ketika kita makan,
sadarkah bahwa yang kita makan
ikhlas bersatu dengan kita?
rela menjadi bagian tumbuh kembang kita?

Satu

Ketika kita memandang,
sadarkah bahwa yang kita amati
ikhlas bersatu dengan kita?
menumbuhkan inspirasi
ataupun menjadi pengingat jiwa

Ketika kita berinteraksi
sadarkah bahwa yang kita temui
ikhlas memberi ilmu bagi kita
tidak selalu dalam ceria
namun senantiasa memberi makna

Ketika kita bernafas
sadarkah bahwa yang kita hirup
ikhlas memberi kita hidup

Ketika kita hidup
semuanya ikhlas menyatu ke dalam kita

~ Kontemplasi Kami ~

Melepas – mudah diucapkan, sulit dilakukan

Melepas
Gambar oleh Gianandrea Villa dari Unsplash

Melepas, yang bahasa zaman now nya ‘letting go’, atau bahasa jadulnya ‘ikhlas’, bukan hal yang mudah dan instan, namun perlu dilatih. Dan sebagaimana manusia biasa, latihan ini tak pernah berhenti, terlepas kita ‘sedang mau’ melepas atau ‘sedang tidak mau’ melepas.

Frase terakhir perlu kita bahas sedikit, karena melepas bukan masalah ‘sedang mau atau sedang tidak mau’. Melepas adalah sikap keseharian. Melepas bukan saja karena ‘musibah’, namun melepas juga karena ‘hadiah’.

Melepas perlu diawali dengan Kesadaran. Inipun kata ‘abstrak’ yang sulit diwakilkan oleh kalimat dan bahkan cerita karena kata dan kalimat sendiri adalah keterbatasan. Namun untuk singkatnya Kesadaran, setidaknya bagi yang berlatih, mengingatkan kembali ketiadaan kita. Artinya, kita tidak ada dan tidak memiliki apa-apa.

Dengan mengawali dengan Kesadaran, melepas menjadi sami mawon atau idem ditto dengan menerima. Keduanya menjadi ‘tidak pernah terjadi’. Yang ada hanyalah titipan sementara atau dilewati sementara. Terkadang marah lewat, terkadang suka cita lewat. Terkadang menerima barang, dan terkadang kehilangan barang. Semuanya bukan untuk kita, karena kita tiada.

Kita tiada – pun menimbulkan kompleksitas tersendiri. Untuk apa berupaya dan ingin, kalau kita tidak ada? Apa arti prestasi bagi ketiadaan?

Sebagian mencoba mendekatinya dengan beraksioma berupaya tanpa memaksa, dan berserah tanpa terserah. Artinya ‘kita – dan ketiadaan kita’ hanya melalukan. Melalukan apa yang dilewatkan dari satu saat ke saat yang lain. Namun melalukan bukan ketidakpedulian, ada pilihan disana.

Nah pilihan pun memberikan dilema baru. Bagaimana kita memilih? Kan kita tiada? Bagaimana ketiadaan bisa memilih? Ketiadaan itu dipilihkan. Dan pendekataannya – lagi-lagi kata ini yang digunakan karena kita bukan orang suci, namun orang-orang yang berlatih’, adalah mencoba meniadakan ego. Ini adalah latihan bertingkat-tingkat, karena egopun berlapis-lapis. Tampaknya kita bisa mengelola ego, tapi seringkali – setidaknya saya – ego yang baru muncul selalu.

Mengelola ego memang perjalanan tak pernah selesai. Sampai kapan? Sampai kita diizinkan.

Jadi melepas adalah masalah antusiasme dalam keseharian untuk memantaskan diri dihadapan Diri agar diri menjadi tiada, dan hanya tinggal Diri – apapun itu. ‘

Antusiasme untuk berlatih agar Kesadaran hadir – atau lebih tepat dihadirkan – dan kita meniadakan diri untuk masuk ke dalamnya. Sehingga menerima, ataupun melepas, menjadi sama saja (konon ini yang disebut sebagai non dualisme – atau bahkan Tauhid: segalanya tiada hanya yang Satu).

Sulit, memang.
Kan kita manusia.
Dan sebaiknya tidak sibuk beralasan, namun sibuk berlatih.

Hanya itu yang bisa kita upayakan, dan sekali lagi, tanpa mengharuskan.