Keberadaan

Gambar oleh Sylas Boesten dari Unsplash

Keberadaan kita, secara sederhana, direpresentasikan oleh napas, tubuh, perasaan, dan pikiran, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Kian kita Berkesadaran, kian kita paham bahwa ke empat elemen ini adalah kita dan juga bukanlah kita. Kian kita berlatih & berserah dalam berkesadaran, kita mengalami bahwa keberadaan kita juga dilekati oleh dua hal lainnya. 

Yang pertama adalah Ekspresi Peranti. Yang kedua adalah Yang Belum Selesai. 

Ekspresi adalah cara kita merespons kondisi dan situasi sekitar kita. Lebih dari sekadar soft skills, seperti cara berkomunikasi, kolaborasi, memimpin dan dipimpin, ia juga mencakup hal-hal yang sederhana seperti bahasa tubuh kita, maupun yang fundamental, seperti peran yang kita pilih, sebagai orangtua, pasangan, ataupun anggota komunitas. 

Peranti adalah tatanan yang kita bangun, kelola, dan kembangkan untuk merespons kondisi dan situasi sekitar kita. Lebih dari sekadar pola membuat ide (ideation) dan kompetensi dari kondisi, ia juga mencakup pranata dan tatanan yang dibangun untuk menjalankan ide dan kompetensi tersebut, seperti metodologi dan teknologi.  

Ekspresi dan Peranti adalah jembatan untuk membumikan kepekaan, keterjalinan, & kearifan. Ketika kita berkesadaran, kita tidak bereaksi secara otomatis terhadap impuls-impuls yang hadir dari kondisi dan situasi, melainkan memilih respons dengan jernih, melalui Ekspresi dan Peranti. Ketika kita tidak berkesadaran, kita digunakan oleh Ekspresi dan Peranti kita, terikat dengan kebiasaan, melekat dengan yang kita nyaman menggunakannya, atau melekat dengan kepakaran yang kita bangun melaluinya. Kita takut berubah untuk menggunakan Ekspresi Peranti yang lain, lelah akan perjalanan pembelajarannya, atau bahkan  malu untuk menjadi tampak bodoh kembali. 

Hal kedua yang hadir bersama dengan keberadaan kita adalah yang kita sebut sebagai Yang Belum Selesai. Yang Belum Selesai merupakan keperluan, keinginan, dan keharusan, hasil dari satu maupun kombinasi dari kumpulan ingatan, dan trauma dari masa lalu maupun ketakutan akan masa depan yang terus mengiang-ngiang di dalam keberadaan kita. Selain bersifat individual, Yang Belum Selesai bisa juga lahir dari kebiasaan kolektif yang terbangun dari norma dan budaya sekitar.  

Ketika kita berkesadaran, Yang Belum Selesai tersadari dan bisa menjadi agenda dari peran-peran kita, yang memang perlu diselesaikan. Dalam perspektif ini, ia menjadi kompas dan fokus kita, tanpa perlu terpenjara olehnya karena kita sadar bahwa peran itu panggilan, bukan keharusan. Ketika kita belum berkesadaran, Yang Belum Selesai, memperkeruh pikiran serta menumpulkan perasaan dalam keberadaan kita. Dalam perspektif ini, ia menjadi godaan dari sekadar kesukaan yang perlu dilepaskan.

Karena kita mengalami betul bahwa napas, tubuh, perasaan, dan pikiran tak pernah sama dan tak pernah abadi, maka kitapun kian menyadari bahwa Ekspresi Peranti dan Yang Belum Selesai sebagai bagian dari kesadaran, juga tak pernah serupa dan sama selamanya. Keberadaan kita senantiasa baru.