Hasrat dianggap sebagai penggerak, karena – katanya – berangkat dari yang suka akan memudahkan. Padahal suka bisa saja godaan. Padahal suka sejatinya adalah panggilan.
Tujuan dianggap sebagai arah hidup kita, karena – katanya – hidup tanpa arah akan limbung bingung. Namun apapun dan siapapun yang tercipta, tak mampu tahu pasti maksud penciptaan.
Hasrat dan Tujuan bukannya tak penting, tapi perlu tersadari, agar peka mengalami, dan terjalin menjalani, serta arif meneladani.
Jalani keduanya dalam bentuk peran-peran, dalam Berkesadaran. Karena peran adalah anugerah, dan bisa berubah sesuai keselarasan yang diperlukan.
Peran-Peran tak sibuk memilih kesukaan. Walau peka akan yang suka, tapi tersadari dulu akan yang hadir. Walau peka dengan arah yang tampaknya ditunjukkan, tapi tersadari dulu akan anugerah keberadaan.
Peran adalah dinamika dan debaran tarian. Peran bukanlah keakuan dan kepastian penari. Peran adalah keleluasaan yang majemuk, bukan kelekatan pada satu citra.
Karenanya peran-peran adalah menjalani anugerah, spasi untuk berlatih dan berserah, yang perlu tersadari dalam teguh berupaya, dan sekaligus bersanding dalam teduh berserah.
Terkadang keberadaan saya sepertinya hampa. Kehidupan tak pernah peduli akan saya.
Adakalanya pula keberadaan saya seperti ditimpakan pada saya. Kehidupan terjadi karena saya tidak berdaya. Dan saya tidak bisa memilih.
Sering kali keberadaan saya serasa untuk saya. Kehidupan adalah hak saya. Dan karenanya saya sibuk menjaga keterbatasan dan kelangkaan.
Berkali-kali pula keberadaan saya tampak perlu saya. Kehidupan membutuhkan saya untuk bisa terjadi. Sayalah pahlawannya, karena kalau bukan saya, siapa lagi?
Sering kali keberadaan saya tampaknya oleh saya. Kehidupan hanya bisa terjadi, karena kemampuan saya. Sayalah yang memperjuangkan segalanya.
Sewaktu-waktu keberadaan saya tampaknya bersama saya. Kehidupan berlangsung karena saya bekerja sama dengan yang lain. Namun saya sibuk berhitung dan memastikan hak dan kewajiban saya dan mereka.
Berkesadaran mengingatkan bahwa keberadaan saya bukan saya. Kehidupan melalui saya. Kian saya berselaras, kian leluasa Kehidupan menjadikan saya pintu. Kian saya tiada, kian leluasa Kehidupan berekspresi.
Gambar oleh Eberhard Grossgasteiger dari pexels.com
Sepertinya, tujuan hidup adalah untuk menyadari & memekarkan anugerah.
Sepertinya, makna hidup adalah untuk menebarkan & melepaskannya.
Disebut sepertinya, karena kita menginterpretasikan yang Absolut, bukan mengabsolutkan interpretasi.
Namun sepertinya, bisa menjadi sejatinya.
Ketika izin itu hadir, bagi yang berkesadaran, yaitu mereka yang berlatih dan sekaligus berserah, untuk menuju kondisi seapa-adanya, namun tak pernah seadanya.
Berkesadaran, karena ketiadaan, bukanlah kehampaan.
Gambar asli oleh Markus Spiske dari Pixabay, diedit oleh Siska
Sekali lagi, ini bukan kata baku dalam bahasa Indonesia. Namun, makna yang ingin disampaikan oleh kata Berkesadaran adalah suatu pola berlatih dan berserah sekaligus untuk tiba dalam kondisi Sadar. Dalam berkesadaran, hidup itu dijalani, bukan dijalankan, dengan jernih seapa-adanya, bukan buram seadanya.
Seadanya lebih dikenal dengan istilah auto-pilot – suatu pola yang menguntungkan pengelolaan energi oleh otak kita, karena menganggap bahwa apa yang sudah pasti akan terjadi lagi. Kita semua, semoga, sudah belajar bahwa yang lalu tidak bisa dijadikan dasar, karena berbagai alasan. Pertama, apa yang kita ingat belum tentu apa yang sebenarnya terjadi. Kedua, apa yang kita pikir hikmah dari yang sudah, juga belum tentu satu-satunya pembelajaran yang bisa kita petik. Yang lalu memang sudah terjadi, tetapi tentang apa yang sebenarnya terjadi dari yang lalu dan apakah pembelajaran dari yang sudah terjadi itu sejatinya merupakan suatu spektrum makna yang maha luas.
Untuk mendekati – dan ketika anugerah itu hadir sehingga kita bisa mencapai – kondisi yang sebenarnya (Sadar) memang memerlukan Berkesadaran. Sekali lagi, ini bukan transaksi yang bersifat sebab dan akibat. Karenanya Berkesadaran tidak akan pernah bisa memastikan Sadar. Ya, Sadar adalah anugerah.
Berkesadaran mengakui batas-batas kemanusiaan kita, karenanya Berkesadaran akan memilah antara yang biasanya, dan yang tidak biasanya, antara yang perlu dan yang ingin, antara opsi dan distraksi. Karenanya Berkesadaran meminta kita untuk berlatih berjeda. Berjeda melalui latihan duduk diam di setiap harinya. Juga berjeda tiga nafas sebagai antara dari satu kegiatan keseharian kita ke aktivitas keseharian yang lain. Dan juga berjeda dengan berjarak dengan sambil, memilih satu dengan keparalelan kegiatan, yang bagi sebagian didewa-dewikan atas nama efisiensi.
Sambil adalah ketidakmampuan untuk memilih. Dan berjarak dengan sambil adalah menghormati pilihan. Sehingga makan hanya makan, tidak sambil melihat gawai kita, sehingga menjawab surat elektronik (email) tidak sambil makan, dan lain sebagainya. Sederhana saja, kitapun tak mau menjadi obyek sambilan dari orang lain ketika orang tersebut sedang bersama kita kan?
Berkesadaran juga mengajak kita untuk berjalan lebih dalam. Kita menghormati pilihan kita karena itulah perilaku yang pertama kali, dan sekaligus terakhir kali. Pertama kali karena semuanya selalu baru, dan terakhir kali karena kita tak pernah bisa mengulanginya lagi di situasi dan kondisi yang persis sama.
Sadar sering diasosiasikan dengan bangun. Namun Sadar bukan sekadar bangun, karena bisa saja ketika kita bangun, kita tidak menyadari apa yang kita alami. Pernahkah kita pergi ke tempat yang sering dikunjungi, kantor misalnya, namun kita tidak mengalami apapun dari jalan-jalan yang kita lalui? Itulah bangun, yang tidak sadar.
Sadar juga sering dikonotasikan dengan berpikir. Kalau kita berpikir, berarti kita sadar, demikian pendapat sebagian dari kita. Sadar bukanlah kondisi ketika kita mampu berpikir, karena sebagian besar pikiran adalah hasil dari kemampuan otak untuk melakukan prediksi atas apa-apa yang pernah kita alami sebelumnya. Itu sebabnya autopilot menjadi jauh lebih mudah, dan itu pula sebabnya kita sering memberikan label yang baku kepada sifat maupun kemampuan orang lain, walaupun orang tersebut bisa saja sudah berubah. Kondisi yang memberikan praduga berdasarkan pengalaman masa lalu ini adalah contoh sederhana berpikir yang tidak disadari.
Sehingga Sadar bukanlah bangun, bukanlah berpikir. Ia adalah sebuah kondisi, dan semua kondisi adalah anugerah.
Sebagai anugerah, Sadar bukan hasil upaya. Ia bukan sesuatu yang bisa kita buat metodenya dan memberikan jaminan bahwa ia akan bisa tercapai kalau metode itu kita lakukan dengan baik dan benar. Dengan kata lain, Sadar bukan hasil transaksional, karena memang tak bisa dihitung-hitung. Kondisi Sadar selalu diberikan, bukan dipastikan.
Untuk memudahkan memahami konsep ini, mari kita lihat sehat. Sehat adalah kondisi. Namun ia tak pernah bisa dipastikan. Semua olahragawan bisa dan pernah sakit, banyak ahli nutrisi pernah jatuh sakit, dan semua yang bergaya hidup sehat, tak luput dari kondisi tidak sehat. Ya, sehat adalah kondisi – sesuatu yang tak bisa dipastikan, ia hanya bisa didekati.
Seperti halnya sehat, definisi kondisi Sadar tak terbatas dan tak pernah definitif. Sadar adalah anugerah yang hadir tanpa memerlukan sebab. Sadar tak bisa diceritakan dengan lengkap oleh kata, tak bisa digambarkan secara menyeluruh oleh lukisan, dan tak bisa dideskripsikan secara total melalui nada. Definisi paling dekat yang sedikit menggambarkan Sadar adalah kondisi yang dialami dengan seapa-adanya.
Seapa-adanya merupakan anugerah tanpa transaksi. Sepi dari persepsi. Senyap dari yang sudah. Sunyi dari yang belum.Tak melekat pada apapun. Hanya murni berada.
Sadar bisa didekati, walaupun – sekali lagi – tak pernah bisa dipastikan pencapaiannya. Mendekati sadar adalah dengan melalui Berkesadaran. Kata ini bukan kata baku dalam bahasa Indonesia, namun ia menggambarkan proses berlatih dan sekaligus berserah untuk mencapai kondisi Sadar. Dalam istilah yang lebih populer, Berkesadaran dikenal sebagai Mindfulness.
Berkesadaran memiliki dua proses yang berjalan sekaligus. Ia menunjukkan upaya berlatih, yang memerlukan ketekunan, dan membutuhkan pola-pola tertentu. Namun ia juga sekaligus menunjukkan keberserahan, karena upaya berlatih ini bukan untuk memastikan, namun dilakukan dengan segala kerendahan hati untuk tanpa pamrih.
Berkesadaran adalah perjalanan, yang panjang pendeknya tidak bisa kita ketahui saat ini, dan memang bukan untuk diketahui. Perjalanan ini adalah perjalanan mengalami. Mengalami dengan jernih seapa-adanya, namun tak pernah seadanya.